Sabtu, 03 Januari 2009

BLUNDER

Oleh : ARYO KARLAN Dalam keseharian, yang dilakukan biasa-biasa saja. Berangkat kerja pukul tujuh pagi dan baru pulang saat menjelang sore. Bila hari libur, dia lebih suka menghabiskan waktu di rumah dinasnya bersama isteri dengan dua anaknya yang telah beranjak dewasa. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja dia mengunjungi tempat-tempat hiburan di belahan kota Jakarta ini. Selebihnya, laki-laki berperawakan tinggi itu dikenal sebagai orang yang bersahaja, humoris, lowprofile. Dia juga gemar bermain catur. Enam bulan sudah ia tinggal di Ibukota. Pak Yus, demikian orang-orang memanggilnya, mesti bersyukur ditugaskan disalah satu sektor kota Jakarta ini. Mungkin lebih tepat suatu keberuntungan atau berkah bagi diri serta keluarganya, jika dibandingkan dengan rekan-rekannya yang bertugas di kota-kota kecil, di pedesaan, di pelosokan daerah, seperti yang pernah ia alami diawal-awal kariernya. Sepintas orang menilai laki-laki itu terkesan biasa-biasa saja. Pak Yus memang tidak suka menonjolkan atributnya, sebisa mungkin disembunykan rapat-rapat jati dirinya. Dia lebih suka tampil sebagai apa adanya. Sebagai manusia sederhana. Justru dibalik kesederhanaannya, laki-laki yang gemar main catur itu telah mengukir karya luar biasa. Karyanya tak kalah hebat dengan karya lukisan Affandi, Rusli atau Nashar, atau patung-patung Cokot dan Sidharta, atau Rendra dengan puisi-puisinya. Dia selalu berkarya dibalik jubah hitam dan palu di tangannya. Pencapaian prestasi gemilangnya itu diperoleh melalui proses endapan karsa, sentuhan bijak yang kemudian dikwalifisir atas dasar pikiran-pikiran inovatif, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan. Sehingga dari sanalah lahir sebuah karya maha luhur yang didalamnya terkandung nilai-nilai Judicium Die. Sebagian rekan-rekannya menganggap karya dia sebagai That Judgement was that of God. Tetapi orang-orang awam tetap saja mengenal Pak Yus tak lebih sekadar sosok laki-laki murah senyum yang gemar main catur. *** Laki-laki itu tertegun. Kerut dikeningnya membentuk garis-garis sejajar. Ia masih penasaran. Diingat-ingat, langkah akhirnya itu ternyata salah langkah. Langkah blunder. Ini kali pertama ia dikalahkan oleh anak muda itu, stafnya yang sehari-hari bertugas sebagai operator komputer. “Bapak tidak fokus, jalannya ngawur!” “Ah, tidak juga. Itu karena kamu ada kemajuan, dik Sam.” Sam meraih bungkusan rokok di atas meja, mengambilnya sebatang lantas menyulutnya dengan zippo peraknya. Ia menghirup asap itu dalam-dalam lalu dihembuskan lewat lubang hidung dan mulutnya. “Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiran bapak.” Tampaknya anak muda itu merasa kurang puas. Dia tersenyum walau dalam hati mengakuinya. Sedari tadi memang pikirannya sedang dirusuhkan oleh tuntutan anak bontotnya agar dibelikan sepeda motor. Malu katanya setiap hari naik bis umum sementara teman-temannya bersekolah mengendarai motor. “Dik Sam, ... bisa bantu bapak?” “Dengan senang hati.” “Bisa urus kredit motor?” ada ragu di ujung lidahnya. “Buat bapak?” “Bukan, untuk anak saya.” Sam memandang sejenak wajah laki-laki paruh baya itu. Ia menangkap sesuatu yang aneh melekat pada diri atasannya. Sangat aneh orang semacam Pak Yus, seorang Top Leader pada sebuah lembaga yang dipimpinnya, berniat mengajukan permohonan kredit motor. Padahal, kalau saja dia mau tinggal angkat telepon hubungi lawyer-lawyer yang ada di Jakarta ini. Rupa-rupanya, laki-laki yang kerap memanggil dirinya dengan ‘dik’ itu beda dengan pemimpin pendahulu-pendahulu sebelumnya. “Prosesnya lama nggak, yah?” “Sekarang mudah dan cepat, Pak. Apalagi orang seperti bapak, cuma angkat telepon, motor langsung diantar ke rumah.” “Semudah itu, dik Sam?” “Tanpa mengeluarkan uang sepersen pun.” “Ah, masa iya?” “Jika bapak izinkan, sekarang juga saya hubungi dia.” “Oh, boleh, boleh, ... tapi, ... dia-nya siapa? dealer motor?” Sam tertawa renyah. “Bukan itu yang saya maksudkan, Pak Yus. Dia-nya itu, seseorang yang butuh bantuan bapak.” “Seseorang? butuh bantuan saya?” “Asalkan bapak bersedia mengabulkan permohonannya.” “Permohonan apa, dik Sam?” Anak muda itu membisikan sesuatu ke telinga atasannya. “Astaga! ...” laki-laki itu terhenyak dari duduknya. Ia menarik nafasnya dalam-dalam, melepaskan kejutnya. “Tidak semudah itu, dik Sam,” ujarnya nada berat. “Saya ‘kan hanya menyodorkan pilihan, itu pun kalau bapak bersedia.” “Masalahnya bukan bersedia atau tidak. Ini menyangkut rasa keadilan, nurani, dan hak seseorang. Lagi pula, sekiranya benar untuk kebenaran mengapa pula takut untuk disalahkan.” “Menurut bapak?” “Perlu kajian mendalam, dik Sam. Kajian yuridis, sosiologis, filosofis, tidak asal bicara : bim salabim alakadabra! kemudian segalanya akan selesai. Tidak! Bukan begitu, dik Sam. Pelajari dulu fakta-faktanya, bukti-buktinya, dan lain sebagainya.” “Itu ‘kan teoritisnya, Pak. Kalau praktisnya?” “Bapak belum pelajari berkasnya, dik Sam.” “Hubungi saya, Pak Yus, jika sudah pelajari fakta-faktanya, bukti-buktinya. Jika benar untuk kebenaran, ‘kan tidak perlu takut untuk disalahkan. Bukan begitu. Pak Yus?” Pak Yus risau hatinya. Ia merasa perlu berhati-hati mulai sekarang. Hati-hati dengan langkahnya agar tidak salah langkah. Bisa jadi, ia malah mengambil langkah blunder! *** Jadwal sidang sudah ditetapkan dan berjalan sesuai rencana. Beberapa hari lagi perkara itu akan diputus, namun Pak Yus belum juga menentukan sikapnya. Padahal, musyawarah harus dicapai dengan suara bulat. Siang itu, ia menemukan bungkusan kecil tergolek di atas meja kerjanya. Sebuah Handphone. Semenjak tugas di Jakarta ia memang belum memiliki benda yang bisa diajak bicara itu. Hingga kemudian seseorang berbaik hati menaruhnya di atas meja itu. Seseorang yang diyakini adalah stafnya sendiri. “Saya hanya menyampaikan amanat, Pak. Itu titipan dari seseorang buat bapak,” jawab anak muda itu ketika menghadap atasannya. “Orang yang berperkara?” Sam menggelengkan kepadanya. “Bukan. Dia dulu pernah sebagai atasan bapak.” “Siapa?” “Nanti beliau akan menghubungi bapak.” Benar saja. Handphone di atas meja karjanya tak lama kemudian berdering. Laki-laki yang gemar main catur itu segera meraihnya. “Halo? ...” “Pak Yus?! ..... tolong bantu saya punya urusan, yah. Itu lho, perkara yang dimaksud anak buah kamu, Sam, kebetulan salah satu pihaknya masih ada hubungan family dengan saya. Saya minta kamu bersikap lebih luwes dalam menanganinya.” Suara diseberang sana membuat laki-laki yang selalu murah senyum itu sedikit nervous. Ia kenal betul dengan pemilik suara itu. Seseorang yang dulu pernah dekat dengannya, dan kini telah menjadi orang terhormat. Seseorang dengan posisi jabatan yang konon sangat diagung-agungkan. “Sam tidak cerita dengan bapak?” “Oh, sudah, sudah, ... justru itu saya hubungi kamu, Yus.” “Maaf, Pak Zul, ... bukan saya tak ingin membantu urusan bapak. Tapi, ... setelah di pelajari sulit bagi saya untuk mengabulkan permohonan itu ...” “Ini Jakarta, Pak Yus!” potongnya, terdengar nada kurang senang. “Tak ada istilah sulit. Semua bisa diatur.” Suaranya menekan. “Tapi, Pak ....” “Saya kenal kamu bukan kemarin sore, Yus. Saya percaya, kamu bisa atasi itu. Saya yakin, kamu bisa mainkan sebuah partitur lagu meskipun dasarnya agak sumbang, tapi bila kau yang mainkan pasti akan enak didengar telinga. Seorang Pitlo-pun pasti akan menikmati musik yang kau mainkan .....” “Ini bukan sekedar memainkan musik, Pak ...” “Ah, kau! ...”kembali suara itu memotong. “Di Jakarta ini, tidak butuh baju safari yang selalu kau pakai setiap hari. Hidup di Metropolitan perlu mobil, rumah, uang .... eh, kudengar kamu butuh motor bukan? itu gampang! dalam waktu dekat, akan diantar ke rumah.” “Tapi, Pak Zul ....” “Yus, Yus, ... “ daun telinganya mendengar suara tawa terkekeh dari seberang sana. “Saya malu punya anak buah hidup di Jakarta tidak punya apa-apa. Untuk sebuah motor saja harus mengajukan kredit. Memalukan! .... Sudahlah, saya tunggu kabar selanjutnya. Oke?” Klik! ... percakapan terputus. Laki-laki itu tertegun. Kerut dikeningnya membentuk garis-garis sejajar. Ia resah. Diingat-ingat, stafnya itu telah membuat ia salah langkah. Tak seharusnya ia menaruh kepercayaan begitu saja kepada anak buahnya, sehingga mengetahui yang seharusnya dirahasiakan, mendengar yang seharusnya diredam rapat-rapat. Kini ia berada dalam posisi dilematis. Ia tahu betul, mantan atasannya yang telah menduduki jabatan prestisius itu suatu saat nanti pastilah akan menganulir keputusannya kelak. Sementara pada saat yang bersamaan, Ia juga butuh kehidupan yang lebih baik. Ia ingin seperti rekan-rekannya yang pernah mengecap rejeki di kota Jakarta ini. Ia merasa malu dengan kehidupannya sekarang. Malu setelah ia ketahui gaya hidup Sam, yang cuma seorang staf saja, mampu memiliki rumah dan mobil yang jelas-jelas tidak bisa diukur dengan gaji yang diterima setiap bulannya. Pak Yus menarik nafasnya dalam-dalam. Ia merasa sesak. Ia dihadapkan oleh pilihan-pilihan yang harus segera dipilih. Ia berharap pilihannya itu bukan langkah yang salah. Setidaknya, tidak salah langkah dalam menentukan pilihannya. Bisa jadi, langkah yang diambil justru akan mematikan karier dan kehidupannya. Langkah blunder ... ***

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar anda

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. PULPEN - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz