Sabtu, 03 Januari 2009

GADIS YATIM PIATU

Oleh : Z.E.T.A Gadis terperangah. Terkejut. Bagaimana bisa seorang yang dilahirkan sebagai anak tunggal, semata wayang, punya saudara kandung? “Mungkin aja, ... kenapa ngga? Kalo benar ibu kamu masih hidup, bisa aja dia melahirkan seorang anak dari ayah yang berbeda. Dan anak itu ... tentulah masih ada hubungan saudara dengan kamu ...” jelas Surti. “Betul, Dis ...dia duplikat kamu!” timpal Nita bersemangat. “Rambutnya lurus sebahu, hidung bangir, kulit pun sama putih. Dan andeng-andeng itu sama persis terletak dipelipis mata kanan ... Duh, bentuk matanya juga serupa banget ... belo!” “Tapi, ... Paman bilang Ibuku telah lama wafat.” “Itu ‘kan katanya ... pernah liat kuburannya belom?” Gadis mencoba mengingat-ingat apakah Paman pernah mengajak mengunjungi makam ibunya? “Dulu, ... waktu masih kecil aku pernah diajak Paman ziarah ke makam ayah. Kalo ke makam Ibuku rasanya ...” “Nah, ... tuh, kamu sendiri masih meragukan,” cetus Surti tajam. “Bisa jadi cewek yang mirip kamu itu dilahirkan oleh seorang ibu yang sama. Yah, ... Ibu kamu itu!” tegasnya kembali. “Dan kamu bukan lagi seorang gadis yatim piatu, karena kamu masih punya Ibu dan saudara kandung. Kembaran kamu! ...” Benarkah begitu? Keyakinan Gadis goyah seketika. Kalo Ibu benar masih hidup untuk apa Paman berbohong? Ini kali pertama Gadis dilanda skeptis, menggugah kesadarannya untuk mempertanyakan kembali seputar kematian ibunya kepada Paman. Sulit rasanya bagi Gadis menerima cerita dua sahabat baiknya itu. Katanya, melihat seorang cewek mirip dengan dirinya di sebuah tempat kursus piano, yang letaknya tak jauh dari sekolahnya. Dan sama sulitnya bagi Gadis membenarkan argumentasi yang dikemukakan oleh Surti, bahwa ada kemungkinan ibunya masih hidup jika melihat kemiripan dirinya dengan cewek itu. Bukan mirip tetapi lebih tepat sebagai kembarannya. Untuk membuktikan kebenaran cerita itu, maka setelah bubar sekolah Gadis tak langsung pulang ke rumah melainkan mampir dulu ke tempat kursus piano itu. Lima belas menit sudah Gadis menunggu, mengamati orang-orang yang keluar masuk di gedung itu. Pada menit berikutnya mata Gadis menangkap Baleno Silver melintas dan berhenti tepat di depan gedung berlantai dua. Setelah menurunkan seseorang, mobil itu kembali meluncur ke jalan raya. Saat yang bersamaan Gadis beranjak dari duduknya. Dengan langkah lebar-lebar ia berusaha menghampiri cewek itu, memburu orang yang selama ini dinanti-nantikan kedatangannya. Tapi sayang, dia lebih dulu masuk sebelum Gadis sempat berpapasan dengannya. Di depan gedung tempat kursus piano itu Gadis hanya berdiri mematung, melihat kegiatan yang sedang berlangsung di dalam sana melalui jendela kaca. Tampak olehnya beberapa siswa serius memainkan piano dibimbing sang instruktur. Bunyi denting piano begitu lembut hingga sayup-sayup tertangkap oleh daun telinganya. Hanya saja, perhatian Gadis terfokus pada seorang siswa yang duduk di barisan belakang seorang cewek yang wajahnya .... Ya, Tuhan ... Gadis hampir tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Secara fisik cewek itu benar-benar mirip menyerupai dirinya. Pantaslah sahabat-sahabatnya mengira dia saudara kembarannya. Cukup lama Gadis menikmati pemandangan itu, sampai kemudian .... “Dara! ... udah selesai latihannya?” teguran halus itu mengejutkan Gadis. Cepat ia berpaling. Telah berdiri dihadapannya seorang pria paruh baya, tersenyum, lalu menggamit lengannya dan membawa pergi ke sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari tempat kursus piano. “Papa sangat khawatirkan kamu, Dara ... mestinya kamu tuh istirahat aja di rumah. Oh ya, bagaimana kabar Mama?” Melihat Gadis hanya diam saja dan bersikap begitu kaku, pria separuh baya itu kembali melanjutkan ucapannya. “Memang semua ini salah Papa, ... kamu berhak marah untuk itu. Tapi, percayalah! ... sedikit pun Papa tak berniat mengkhianati kesetiaan Mama apalagi membencinya. Sampai detik ini Papa masih mencintai Mama, menyanyangi kamu. Papa dijebak oleh perempuan itu ...” Wajah pria itu tampak muram. Air mukanya menunjukkan ia sedang menahan galau di hatinya. Sadarlah kini, Gadis tengah berhadapan dengan seorang pria, ayah dari cewek yang mirip dirinya. Gadis hendak berterus terang, tapi ... “Papa dengar penyakit asmamu kambuh lagi? ... Dara, Papa punya kenalan seorang dokter. Jika kamu mau berobat dengannya mungkin penyakitmu bisa disembuhkan ...” “Maaf ...” “Sudahlah, Dara ... Papa mengerti,” tukasnya kecewa. “Tentu kamu masih menyimpan kebencian itu. Memang Papa-lah yang salah, ...” Gadis merasai bentuk penyesalan dibalik wajah pria itu yang kian murung. Sekali lagi, Gadis ingin menyampaikan sesuatu tapi .... “Papaaa!! ....” terdengar seruan dari luar cafe. Suaranya mengejutkan pria itu dan langsung menoleh. Namun tak berapa lama kemudian pandangannya segera beralih menatap Gadis lekat-lekat. Ia mengamati begitu teliti seluruh bagian wajah Gadis, membanding-bandingkan dengan pemilik wajah seorang putri yang sedang berdiri di luar sana. “Maaf, Oom ... saya ingin katakan terus terang tapi Oom tidak memberi kesempatan bicara,” ujar Gadis berusaha menjelaskan pada pria itu yang tampak bingung. Hal yang sama juga dialami oleh cewek di luar cafe itu, ketika Gadis bangkit dan melangkah mendekatinya. Sekarang pria paruh baya itu benar-benar kebingungan. Ia kesulitan membedakan dua putri yang sedang berdiri berjajar dihadapannya. Bagai pinang dibelah dua. “Si, ... siapa kamu?” Gadis tersenyum. “Aku Gadis. Kamu pasti Dara ‘kan?” Cewek yang bernama Dara itu mengangguk. “Aku tau dari Papa kamu. Oh ya, sebenarnya aku ingin sekali bertemu dengan Mama kamu.” “Untuk apa?” tanyanya penuh selidik. “Gadis! ...” Pria itu capat-cepat memanggil. “Maaf ya, ... sebaiknya kamu tak perlu melibatkan diri mencampuri urusan kami. Anggap aja pembicaraan kita barusan tak pernah ada ...” “Saya hanya ingin bertemu aja kok, Oom. Ada sesuatu yang perlu saya ketahui, mungkin itu akan berguna buat saya.” “Hmm, ... Pentingkah itu? boleh Oom tau?” Gadis terdiam. Sejurus ia merasa ragu juga. Bagaimana sekiranya wanita yang hendak ditemui ternyata bukan yang diharapkannya? Mereka tentulah keluarga berada, sedang dirinya ... Ah, apa ini tidak memalukan? mengaku-aku sebagai anaknya? “Lain waktu aja kalo ingin bertemu. Kebetulan Mamaku sedang pergi ke Bandung,” tepis Dara menghalau keraguan Gadis. “Berapa lama?” “Mana kutahu?” Gadis tertegun. Begitu parahkah badai yang menimpa rumah tangga mereka, hingga tak ada lagi komunikasi di tengah keluarga ini? “Kamu ngga diberi tahu?” “Itu bukan urusan kamu! ... Begini aja, berikan nomor HP kamu biar nanti kuhubungi jika Mama udah kembali ke rumah.” “Tapi, ... aku, ... aku ngga punya HP,” jawab Gadis malu-malu. Ada senyum mengece merekah di wajah cewek itu saat mendengar pengakuan Gadis. Ia kini memandang Gadis penuh curiga. “Ini nomor HP ku. Tapi awas ... jangan coba-coba menipu kami!” Hati Gadis tersentil. Ada sesuatu yang membuat ia merasa gerah dan tidak nyaman berada di samping cewek yang bernama Dara itu. Tetapi kartu nama yang diterima darinya cukup memulihkan semangat Gadis yang hampir saja meluruh. Sepanjang malam Gadis tak bisa tidur nyenyak. Pikirannya mengawang diantara khayal dan harapan. Berkhayal dirinya berkumpul bersama seorang Ibu yang hanya dikenal melalui cerita – cerita Paman, dan mimpi-mimpi yang tak jelas seperti apa rupanya. Ibu ... sudah teramat lama Gadis merindu kehadiran sosok seorang ibu, rindu belai kasih sayangnya, rindu kehangatan cintanya ... Bilakah kerinduan itu dapat terobati? Harapan Gadis tertumpu pada rencana yang telah ia susun baik-baik. Rencananya Gadis akan menjumpai seorang wanita, Ibu dari cewek yang wajahnya mirip seperti dirinya itu. Bukan mirip tetapi lebih tepat sebagai kembarannya! ... begitulah penilaian mereka. Kedengarannya memang agak konyol, tapi tidak ada salahnya mencoba, toh itu lebih baik daripada terus menerus menanggung beban penasaran. Dan siapa tahu wanita itu adalah benar ibunya yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini. Sosok wanita yang kerap hadir dalam mimpinya. Maka esok harinya Gadis bermaksud menghubungi nomor HP yang diberikan oleh Dara. Hanya saja niatnya tertunda begitu Paman datang bersama seorang wanita, kemudian diperkenalkan kepadanya. Melalui penjelasan Paman, mengertilah Gadis bahwa tamu itu tak lain adalah Bule-nya, atau Kakak dari Ibunya. Kedatangannya selain membawa oleh-oleh juga menyampaikan kabar yang tidak saja mengejutkan, tetapi juga menjungkirbalikan harapan dan impian Gadis. “Saat usia kamu baru setahun, ibumu pergi mengadu nasib ke negeri kaya minyak. Namun tiga bulan setelah itu ... kami dapat kabar buruk. Ibu kamu sakit. Penyakit asmanya kambuh hingga akhirnya meninggal dunia. Sayang, kami tak bisa bawa pulang jenazahnya, ...” “Nah, Gadis, ... sekarang udah paham ‘kan? Sengaja Paman menutupi kisah ini karena Paman tak ingin kamu merasa malu, minder ataupun rendah diri. Mulai saat ini, kamu harus lebih rajin belajar. Sebentar lagi ‘kan ujian, Paman berharap kamu bisa masuk SMA Negeri. Jangan kecewakan Paman dan almarhum orang tua kamu yah! ...” Gadis mengangguk. Setelah mendengar kisah itu, kini ia merasa lebih tenang, puas dan tak ada lagi rasa penasaran yang menghimpit dada. Semua sudah jelas. Gadis menyadari siapa dirinya. Ya, gadis yatim piatu! ... itulah dia sebenarnya. ****

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar anda

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. PULPEN - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz