Sabtu, 03 Januari 2009

PESAN PAMAN

“Paman yakin tidak mau diantar?” Aku bertanya meski kusadari pertanyaan itu barangkali sekadar basi-basi. “Ndak usah repat-repot, To, ... Paman masih kuat jalan sendirian, kok. Dulu, semasa perang Agresi Kedua Paman terbiasa berjalan kaki keluar masuk hutan, naik turun gunung, mengirim pesan rahasia untuk para gerilyawan.” “Itu ‘kan dulu, sekarang Paman sudah ...” “Jangan bilang ‘tua’, Mantho, ... Purnawirawan!” selipnya cepat. “Iya, ya, ... maksudku begitu, Paman.” Sungguh menggelikan. Tak mau disebut ‘orang tua’ namun rambut di kepalanya seratus persen telah beruban. Kulitnya pun keriput membungkus tulang. Dan yang turut mempertegas ketuaannya adalah gigi di mulutnya ternyata tinggal empat buah. Dua di atas dan sisanya melekat di email bawah. Sehingga bila sedang mengunyah makanan, atau kebetulan Sang Purnawirawan itu tertawa, maka akan tampak lesungan besar di belahan pipinya yang tak lagi mengencang. Sungguh pun demikian, diusianya yang telah melewati kepala tujuh, Paman masih terlihat bugar dan energik walau gerak langkah kakinya mulai melambat. “Rencananya mau kemana, Paman? ke rumah Utik?” “Pulang ke Depok saja, ... naik kereta. Hampir setahun ini tidak pernah numpak sepur lagi. Terakhir kali waktu Paman diundang ke Istana bersama teman – teman veteran,” katanya sambil melipat beberapa potong pakaian lalu dimasukkan ke dalam tas ranselnya. “Apa tidak sebaiknya naik bis saja?” “Macet! ... bikin kepala mumet.” Setelah rapi-rapi sebentar, Paman mulai melangkah keluar rumah. Aku menguntitnya di belakang. Diam-diam kuselipkan lembarang uang di kantong ranselnya. Sengaja kulakukan itu karena Paman sudah pasti akan menolak uang sangu pemberianku. Katanya, ia merasa sudah cukup dengan uang pensiun yang diterimanya tiap bulan. Tetapi aku tak mau begitu saja membiarkan orang tua, ‘eh maksudku Sang Purnawirawan itu, berpergian dengan uang sangu seadannya. “Oh ya, To ... seandainya nanti istrimu melahirkan bayi laki-laki, boleh Paman berpesan?” “Pesan apa yah, Paman?” tanyaku penasaran. Tak biasanya Paman meninggalkan pesan bila hendak pamit. Apalagi menyangkut si Jabang bayi yang dikandung istriku. “Paman belum pernah lakukan ini pada siapapun, seumur hidup, ... jika kamu tidak keberatan dan mengijinkan, berilah bayi laki-laki itu dengan nama: S-U-D-I-R-M-A-N ...” “Sudirman?!” “Ya, Sudirman! ... seorang pahlawan besar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Paman sangat mengagumi beliau.” “Bagaimana jika bayinya seorang perempuan?” “Paman yakin, ... janin yang dikandung istrimu itu bocah lanang,” ujarnya mantap. Aku cuma senyum sumir. Segera kupanggil becak yang melintas di depan kami. “Paman naik becak saja ke stasiun Manggarai.” “Baiklah, To ... sampaikan salam untuk istrimu. Jangan lupa pesan Paman yach?” “Selalu kuingat, Paman.” Aku masih saja berdiri di mulut gang mengiringi kepergian orang tua, maksudku Sang Purnawirawan itu, sebelum akhirnya becak yang ditumpangi Paman menghilang di jalan menikung. *** Ketika masih kanak-kanak kami mengira Paman Radji bagian keluarga besar dari Ayah ataupun Ibu. Ternyata tidak. Menurut cerita Ibu, Paman Radji dulu seorang ambtenaar pada sebuah Jawatan Pos dan Giro. Karena pecah perang, ia tinggalkan pekerjaan itu dan ikut berjuang bersama Laskar Kelabang Hitam, semacam pasukan underground action. Paman Radji bertugas sebagai kurir menyampaikan pesan-pesan rahasia kepada beberapa pejuang yang tinggal di hutan-hutan, lembah atau gunung. Suatu hari Paman terkena mortir. Lukanya cukup parah. Hampir saja nyawanya tak tertolong jika Ayah tak segera mengobati lukanya. Sampai sekarang luka itu masih membekas di paha kanannya. Sejak saat itu Paman dan Ayah mulai merenda persahabatan, menjalin tali silahturahmi. Mungkin merasa berhutang budi, Paman begitu perhatian pada keluarga kami. Setiap ada kesempatan kami selalu dikunjungi, dibawakan oleh-oleh untukku serta dua adik perempuanku. Bahkan saat kami dewasa dan kedua orang tuaku telah meninggal dunia, Paman Radji-lah yang paling berjasa menyokong kehidupan kami. Selain membantu dalam urusan biaya pendidikan, beliau juga berperan sebagai Wali ketika kami menikah. Sayang, pada saat Paman datang berkunjung kebetulan isteriku tidak berada di rumah. Padahal, istriku paling senang jika Paman datang. Suasana rumah akan bertambah ramai, meriah, dan lebih semarak. Isteriku tentulah betah duduk berjam-jam mendengar kisah perjalanan hidup Paman Radji. Kisah tentang pertempuran heroik di Ambarawa sampai masalah perkawinannya yang berujung tragis. Tiga kali menikah tiga kali pula kehilangan istri. Dua diantaranya karena kematian, dan yang terakhir diceraikan setelah diketahui berselingkuh. Terkadang istriku bisa berubah menjadi melankolik bila sudah memasuki sisi pribadi Paman yang hidupnya sebatang kara; tidak beranak dan sanak saudara. Kini Paman menetap di Depok ditemani oleh bujangnya yang diadopsi sewaktu berumur enam tahun. Kunjungan Paman Radji ke rumah kali ini terasa aneh. Di luar kebiasaan. Muncul tiba-tiba lalu minta pulang secara mendadak, sebagaimana kedatangannya yang tanpa diduga-duga. Biasanya Paman menginap dahulu barang semalam. Setelah itu barulah berkeliling mengunjungi Utik dan Ipah, kedua adikku yang tinggal di Bekasi. Adakah sesuatu yang membuat dirinya bersikap begitu? Entahlah, yang pasti aku telah berusaha semaksimal mungkin menyambut kedatangan Paman. Memang sempat kutangkap ada gurat kecewa saat kukatakan bahwa istriku kini berada di rumah Ibunya menunggu masa persalinan. “Begitulah perempuan, To! ... selalu balik ke ibunya bila hendak melahirkan.” “Mungkin karena anak pertama, Paman.” “Mungkin juga, ...” sahutnya mendesah. *** Kuambil keputusan untuk cuti kerja selama seminggu, sehari setelah istriku melahirkan. Benarlah kata Paman, ternyata kami dikaruniai seorang bayi laki-laki. Ibu mertua bilang bayinya mirip dengan rupaku. Hidung, mata, serta aliasnya persis sama. Semula aku bermaksud ingin memboyong segera istri serta bayinya pulang ke rumah. Namun Ibu mertua tegas-tegas melarangnya. “Pamali ! ... biarkan dulu istirahat di rumah Ibu. Kamu boleh bawa pulang ke rumah jika sudah empat puluh hari.” “Selama itu?” “Ya, selama itu! Kalau tidak, anakmu nanti kena sawan.” “Sawan?!” “Dasar anak muda sekarang, ... Iya, sawan! ketempelan mahluk halus, mengerti?” Aku diam saja. Jauh di lubuk hati sudah pasti aku sangat kecewa dengan keputusan itu. “Mas, ... sudah dengar kata Ibu?” tanya istriku berwajah sumringah. Aku duduk di tepi rajang, mengamati si buah hati yang tengah tertidur pulas, sambil membelai-belai rambutnya yang lebat. “Iya, aku sudah dengar. Ibu melarang kamu pulang ke rumah, juga si kecil. Pamalilah, sawanlah ....” “Bukan itu maksudku.” “Lalu?” “Ibu dan aku sepakat menamakan bayi kita : ADI MANTHOPUTRA! Bagaimana, Mas? Bagus ‘kan?” “Cukup bagus, tapi, ....” mendadak aku teringat pesan Paman. Istriku tampak bingung melihat perubahan air mukaku yang keruh. “Tapi kenapa, Mas? Ada yang salah?” “Aku hampir lupa, ... sebelum pulang Paman sempat titip pesan untuk kita.” “Pesan apa?” “Paman berkeinginan agar anak kita diberi nama : Sudirman.” “Kalau begitu, kita bicarakan saja pada Ibu,” usulnya. Aku hendak mengatakan jangan tetapi pintu kamar terlanjur terbuka, dan muncullah Ibu mertua. Tangannya penuh membawa popok, bedong, bedak dan selimut. Selagi Ibu mertua dan istriku sibuk mengganti pakaian si Kecil, aku beranjak mencoba menghubungi Paman di Depok melalui ponsel. Tak ada jawaban. Aneh, ... malam-malam seperti ini biasanya mereka kumpul di rumah. Kemana perginya Paman, yah? dan Sugeng, anak angkatnya itu? “Mantho! .... Ibu tidak setuju dengan nama yang kamu usulkan itu,” cetus Ibu mertua sekonyong-konyong. “Bukan aku, Bu. Paman Radji yang memberikan nama.” “Dia atau kamu, ... tolong jangan ganti nama cucuku ini. Lagi pula, untuk memberi nama seseorang perlu hitung-hitung, To! ... lihat dulu hari kelahirannya, pasarannya apa, cocok atau tidak. Ibu khawatir, anakmu akan sakit-sakitan bila tidak cocok dengan nama itu.” Sekali lagi aku hanya diam saja. Membiarkan Ibu mertua memperkosa hak-hak yang seharusnya menjadi bagianku. Rupanya aku harus banyak mengalah di rumah mertua. “Hmm, ... bau apa ini? Parfum apa yang kamu pakai, Shinta?” “Biasa, Mas. Kenapa?” “Kok wanginya seperti melati. Kamu cium juga bau ini?” Istriku menggelengkan kepala. Namun aku banar-benar mengendus aroma melati menusuk-nusuk hidungku. Terasa begitu dekat dan sangat wangi. Tepat ketika itu ponsel di saku berdering. Ternyata dari Utik, adikku yang tinggal di Bekasi. “Ada apa, Tik?” “”Mas, cepat datang ke Depok. Paman sakit, dan sekarang di rawat di Bhakti Yudha. Sebaiknya malam ini juga!” Penekanan diakhir kalimat itu membuat hatiku resah. Sakit? pantas telepon di rumah tidak ada yang mengangkat. Istriku hanya memandang penuh heran sewaktu aku berkemas-kemas. Rasa herannya memuncak begitu aku telah siap untuk berangkat pergi. “Aku harus ke Depok malam ini, Shinta. Paman sakit. Mungkin Paman sedang menanti kehadiranku disana,” ucapku pelan, nyaris sebuah bisikan. Mendengar kabar itu istriku terlonjak kaget. “Mas, ....” “Sudahlah, kamu nggak usah berpikir macam-macam ...” Percuma aku menenangkannya, toh air mata itu tetap saja meluncur deras. Menangis sambil memeluk tubuhku erat-erat. Aku memahami perasaan istriku. Memang ia sangat dekat dengan Paman. “Bila sudah kehendak takdir, maukah kamu menunaikan pesan Paman? Keinginan Paman sederhana saja, kamu bujuk Ibu untuk menerima nama yang diusulkan Paman. Supaya adil, bagaimana nama-nama itu kita gabungkan sehingga menjadi ... ADI MANTHOPUTRA SUDIRMAN! .... bukankah itu lebih bagus?” “Baiklah, Mas ... jika itu keinginan Paman.” Aku tersenyum puas, lalu kukecup keningnya penuh mesra. Segera aku menyelinap pergi diam-diam. Sengaja aku tidak berpamitan pada Ibu mertua. Aku tak mau dengar lagi petatah-petitihnya. Aku hanya berharap, istriku mampu melunakkan sikap kolot ibunya, dan mau mengerti pesan Paman yang mungkin saja (mudah-mudahan itu bukanlah pesan terakhirnya) merupakan tanda pengabdian pada keluarga kami. *****

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar anda

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. PULPEN - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz