Minggu, 17 Mei 2009

Asal Muasal Pengadilan

Penegakan supremasi hukum sedang ramai dibicarakan. Ini penting mengingat Indonesia adalah negara berlandaskan hukum dan konstitusi. Dengan supremasi hukum insan-insan peradilan tidak terjebak retorika dan mafia peradilan. Pun berbagai macam kasus dapat diselesaikan dengan baik.

Namun supremasi hukum perlu penunjang: pengadilan. Mustahil hukum yang berdiri tegak tidak ditopang keadilan dari pengadilan yang jujur dan adil. Pengadilan sebagai badan, terdiri atas orang-orang yang berwenang mengadili, mendengar, dan memutuskan. Baik menyangkut kasus khusus, sipil dan militer. Juga berarti kamar, aula, gedung, atau tempat proses pengadilan dilakukan.

Sulit melacak asal mula pengadilan. Awal abad pertengahan di Eropa, fungsi pengadilan belum terpisah dari fungsi legislatif dan administratif. Raja, penguasa, dan kepala penasihat duduk bersama dalam aula membahas urusan ini. Belum ada pemisahan fungsi secara tegas, masih campur baur kayak gado gado. Baru sejak abad ke-12 seiring banyaknya warga negara yang menyelesaikan pendidikan tinggi dan banyak profesi hukum diakui, terjadi perubahan fungsi secara nyata.

Ada dugaan istilah pengadilan court (dalam bahasa Inggris) berasal dari cortile. Ini gedung yang dikelilingi lorong-lorong beratap, mencirikan karakteristik istana (palazzo) zaman Renaisance. Semisal Palazzo M.Ricardi dan Palazzo Strozzi di Florence, Italia, abad ke-15.

Puncak pembangunan cortile terjadi di Roma. Palazzo della Cancelleria merupakan cortile berciri Renaissance, mulai dibangun 1486. Perancangnya Donato Bramance,yang pada 1547 menyelsaikan karya monumental, Palazzo Farnese. Karya ini juga di desain Michelangelo. Riwayat lain menyebutkan pada abad pertengahan, masih di Eropa, gedung pengadilan hanyalah bagian tambahan dari suatu kompleks bangunan. Semisal kompleks biara tempat mengasingkan diri dari kehidupan dunia, benteng pertahanan kota. Bahkan kompleks sekolah dan rumah sakit pun masa itu mempunyai gedung atau pengadilan sendiri. Maka sama sekali tidak meng¬herankan bila di dalam istana juga ada ruang pengadilan. Istana Alhambra di Granada, Spanyol,dibangun abad ke 13 dan 14, misalnya, mempunyai kompleks pengadilan cukup, lengkap. Sehingga begitu ada indikasi ter¬sangkut kasus tertentu, Tersangka bisa langsung diadili.

Namun pengadilan tidak berguna jika keputusan-keputusan yang dihasilkan jauh dari rasa keadilan. Keadilan itu sendiri di¬syaratkan sebagai hal yang bebas dari penilaian subjektif. Maka sejak dulu sudah ada tamsil: "Keadilan itu buta". Barangkali ungkapan ini tumbuh dari harapan bahwa dalam kondisi tidak melihat hakim bisa membawa keadilan mencapai derajatnya yang tinggi. Namun jejak tamsil popular ini belumlah jelas.

Dipercaya, bangsa Mesir kuno memulainya. Dalam menyelesaikan kasus, mereka punya pengadilan berupa ruang sangat gelap. Tidak memungkinkan bagi hakim melihat dan mengenali Terdakwa, Pembela, atau para saksi. Ruang pengadilan dibuat gelap gulita dengan tujuan melahirkan keadilan yang "buta" dalam arti keputusan hakim diharapkan bisa dijamin adil.

Ada juga anggapan tamsil itu berasal dari sejarah peradilan Inggris. Independensi hakim yang tidak pernah dipengaruhi oleh pertimbangan pribadi, prasangka atau simpati terhadap seseorang.

Bahkan salah satu monumen terkenal di dunia, yang menggambarkan "wujud" keadilan, terdapat di Pusat Pengadilan Kriminal London, mengambil wujud orang buta. Sehingga neraca di tangannya mustahil untuk dilihat.

Tersimpan pesan, "hakim seharusnya tidak memihak". Bebas perasaan suka atau tidak suka. Ketika hakim diintimidasi oleh kekuasaan atau diiming-imingi harta. Juga ketika "sang pengadil" dipengaruhi rasa kasihan atas ketidakberdayaan dan kemiskinan seseorang. Keputusan hakim hanya didasarkan pada bukti-bukti.

Nyatalah sejak dahulu keadilan sudah menjadi dambaan setiap insan. Sayangnya, di beberapa bagian dunia, keadilan ideal sering sulit tergapai. Barangkali benar keadilan itu "buta". Seandainya bisa melihat, mungkin "dia" akan kecewa mendapati kenyataan bahwa ada banyak hal di dunia ini dilakukan dengan mengatasnamakan "namanya”.

(Dari pelbagai sumber/Intisari)

3 komentar:

wahyoe mengatakan...

wuihh baru tau aku :D
nice inpo

Pencari Inspirasi mengatakan...

thanks sob infonya... nambah tau deh...

ridwanox mengatakan...

wah pengetahuan yang menarik trims mas..keep post

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar anda

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. PULPEN - All Rights Reserved B-Seo Versi 4 by Blog Bamz