Rabu, 28 November 2012
0
Sejarah Peradilan Agama
Senin, 21 Maret 2011
Pengadilan Agama Pasca Satu Atap
Minggu, 20 Desember 2009
Sejarah Densus 88
Pada tanggal 17 Juli 2009, pukul 07.47 WIB terjadi peristiwa peledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott. Dan lagi-lagi pelaku bom bunuh diri ini disinyalir dilakukan oleh teroris. Satuan Khusus yang sering kita dengar dengan sebutan Densus 88 pun mulai beraksi memburu para teroris. Tapi tahukan Anda Densus 88 ini? Ingin tahu lebih banyak tentang sepak terjang Satuan Khusus yang menangani aksi teroris ini? Ada baiknya And abaca artikel ini yang kebetulan informasi ini didapat dapat dari blog Muradi Clark.
Pendahuluan
Tulisan ini akan mendiskusikan bagaimana sejarah pembentukan dan peran Densus 88 AT Polri dalam pemberantasan terorisme di Indonesia. Selama ini berkembang anggapan bahwa peran Densus 88 AT Polri dalam pemberantasan terorisme di Indonesia dianggap memonopoli, sehingga beberapa institusi lain yang memiliki organisasi anti terror merasakan tidak mendapatkan porsi yang memadai dan tidak terberdayakan. Sebagaimana diketahui, di Indonesia, hampir semua angkatan dan kepolisian, juga badan intelijen memiliki struktur organisasi anti terror; di TNI AD, ada Detasemen PenanggulanganTeror (Dengultor) , yang bernama Group 5 Anti Teror dan Detasemen 81 yang tergabung dalam Kopassus, pasukan elit TNI AD; TNI AL, ada Detasemen Jalamangkara (Denjaka) ,yang tergabung dalam Korps Marinir; TNI AU, ada Detasemen Bravo (DenBravo), yang tergabung dalam Paskhas TNIAU, pasukan elit TNI AU; sedangkan di Badan Intelijen Negara (BIN),juga memiliki desk gabungan yang merupakan representasi dari kesatuan anti terror. Akan tetapi harus di akui bahwa peran yang diemban oleh Densus 88 AT Polri memberikan satu persfektif bahwa pemberantasan terorisme di Indonesia dapat dikatakan berhasil, setidaknya bila dikaitkan dengan berbagai keberhasilan organisasi tersebut dalam menangkap dan memburu pelaku dari jaringan terorisme di Indonesia, serta mempersempit ruang geraknya.
Densus 88 AT Polri didirikan sebagai bagian dari respon makin berkembangnya ancaman terror dari organisasi yang merupakan bagian dari jaringan Al Qaeda, yakni; Jema’ah Iskamiyah (JI). Sebelum Densus 88 ATPolri berdiri, Polri telah memiliki organisasi anti terror yang merupakan bagian dari Brimob Polri, yakni Detasemen C Gegana. Akan tetapi keberadaan Detasemen C tersebut dianggap kurang memadai untuk dapat merespon berbagai tindakan dan ancaman dari organisasi terrorist pasca 9/11. Apalagi ketika itu Polri diuntungkan dengan situasi dimana TNI, sebagai salah satu aktor keamanan dianggap tidak pantas mengembangkan kesatuan anti terornya,karena pelanggaran HAM yang dilakukan di masa lalu. Apalagi sejak tahun 1994, TNI terkena embargo senjata dan pendidikan oleh Negara-negara Barat, sehingga kesulitan mengembangkan kemampuan tempurnya, khususnya dalam menghadapi ancaman terror. Tak heran kemudian berbagai bantuan dan dukungan,baik persenjataan, pelatihan hingga pendanaan pasukan anti terror dari Negara-negara Barat dikembangkan di Polri, sebut saja misalnya Amerika Serikat, yang banyak kehilangan warganya akibat serangan teroris pada peristiwa 9/11 tahun 2001, Australia, yang juga banyak kehilangan warganya pada Peristiwa Bom Bali I dan II serta Kedutaan Besarnya di Indonesia menjadi sasaran peledakan bom mematikan dari jaringan terorisme di Indonesia, serta Negara Uni Eropa lainnya. Hal tersebutlah kiranya yang membuat iri tiga angkatan TNI, dan BIN terhadap Polri, apalagi legalitas Polri sebagai kesatuan yang berwenang menghadapi dan memberantas terorisme di Indonesia ditegaskan dengan adanya Peraturan Presiden No. 15 tahun 2001, dan kemudian menjadi undang-undang dengan terbitnya UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Tulisan ini bertujuan untuk melihat sejauhmana peran yang dijalankan oleh Densus 88 AT Polri dalam pemberantasan terorisme di Indonesia. Di samping itu akan dibahas pula bagaimana evolusi pemberantasan terorisme di Indonesia sebagai teater sejarah untuk memahami bagaimana batasan dan koordinasi antar aparat yang memiliki struktur organisasi anti terror, seperti TNI dan BIN dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.
Evolusi Pemberantasan Terorisme di Indonesia
Gerakan terorisme di Indonesia hampir seumur dengan berdirinya republik ini,hal ini ditandai dengan perubahan pandangan, jika sebelum merdeka, para pejuang Indonesia dijuluki oleh Belanda dan Sekutunya sebagai organisasi ekstrimis yang mengganggu eksistensi Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia, dan ketika Indonesia merdeka, perubahan penamaan terhadap personalatau kelompok yang melawan kebijakan pemerintah, termasuk Kapten Westerling, perwira Belanda yang bersama pasukannya berupaya merongrong kedaulatan Indonesia yang baru saja merdeka, danAndi Azis, seorang perwira KNIL dari Negara Indonesia Timur, sebagai bagian dari Negara federasi Indonesiahasil kesepakatan antara Indonesia dan Belanda dengan melakukan pemberontakan yang kemudian dikenal dengan Pemberontakan APRA, di Bandung dan Makasar.
Pemberontakan APRA tersebut merupakan salah satu dari gerakan terorisme yang berupaya mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (KNRI) dan dilakukan oleh perwira dari Belanda dan perwira KNIL , ada tiga periodisasi pemberantasan terorisme di Indonesia; Periode Soekarno, Periode Soeharto, dan Periode Reformasi. pada ketiga periodisasi ini, pemberantasan terorisme di Indonesia mengalami evolusi, sesuai dengankarakteristik dari organisasi terorisme di Indonesia. Pada periode Soekarno, gerakan terorisme di Indonesia banyak mengusung tentang isu separatism dan isu ideology. Sejak tahun 1945, pemberontakan dan gerakan perlawanan terorisme di Indonesia terbagi menjadi tiga bentuk: (1) Gerakan pemisahan diri yang disebabkan hubungan dekat dengan bekas penjajah; Belanda, hal ini bisa dilihat pada Pembeontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dimotori oleh Dr. Soumokil, J.H. Manuhutu, dan Johan Manusama yang merupakan kaki tangan Belanda di Maluku, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dimotori oleh Kapten Westerling, dan Kapten Andi Aziz, Pemberontakan Sultan Hamid II di Kalimantan. (2) gerakan terorisme yang ingin mendirikan negara atau memisahkan diri dengan ideology politik tertentu, contohnya; Pemberontakan PKI tahun 1948 yang dimotori oleh Muso, dan D.N.Aidit pada tahun 1965 , pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Aceh. (3) Gerakan pemberontakan yang disebabkan oleh semangat keetnisan, yang dilandasi kebijakan yang tidak berimbang antara Jawa dan luar Jawa, contohnya pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi yang dimotori oleh para komandan militer territorial , dan pemberontakan oleh Organisasi Papua Merdeka, yang tidak puas dengan hasil referendum yang melegalisasikan Papua sebagai bagian dari integral Indonesia.
Pada periode ini pemberantasan gerakan terorisme dilakukan oleh militer dengan pola negoisasi dan pendekatan damai. Soekarno menitikberatkan pada pendakatan militer bukan kepolisian, karena gerakan separatism tersebut mengancam eksistensi kedaulatan Negara. Sementara kepolisian, dengan kesatuan khususnya; Brigade Mobil Polri menjadi pelengkap dalam proses pemberantasan dan pemadaman pemberontakan tersebut. pendekatan militer ini juga diasumsikan karena para pemberontak tersebut banyak berasal dari kesatuan-kesatuan di TNI yang loyal kepada komandannya dan atau desersi dari kesatuannya, sekedar contoh misalnya pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakar, adalah kumpulan organisasi laskar perjuangan yang ditolak masuk karena tidak memenuhi persyaratan minimum sebagai personal ataupun kesatuan militer, sebagaimana yang digariskan dalam program Reorientasi dan Reorganisasi militer yang dilakukan oleh Pemerintah, atau juga pemberontakan PRRI/Permesta, yang merupakan kesatuan territorial militer aktif di Sumatera dan Sulawesi yang memberontak.
Sedangkan pada periode Soeharto, bentuk gerakan terorisme ada tiga bentuk pula, hampir sama dengan periode Soekarno, yakni: (1) Gerakan terorisme yang dilandasi keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, contohnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 1975, Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak tahun 1960-an tapi mulai efektif sejak awal tahun 1970-an, dan Fretilin di Timor Timur sejak tahun 1975 . (2) Gerakan yang menginginkan terbentuknya Negara berdasarkan ideology agama, dalam hal ini Islam, seperti Kelompok Pengajian Warsidi di Lampung,yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Talang Sari , jaringan sisa-sisa DI/TII yang kemudian membangun sel perlawanan, salah satunya adalah kelompok Pengajian Imron Zein, salah satu kelompok radikal Islam yang membajak Pesawat Garuda di Pelabuhan Udara Don Muang , Komando Jihad , Peristiwa Tanjung Priok , dan lain sebagainya. (3) Gerakan kriminalitas dan kekerasan yang terkait dengan satu isu tertentu yang membuat suasana menjadi mencekam ataupun menakutkan. Salah satunya adalah maraknya kelompok penjahat yang melakukan terror terhadap masyarakat.
Kelompok yang kemudian menjadi sasaran pemberantasan oleh pemerintah melalui program Penembak Misterius (Petrus) adalah kelompok kriminal dan gang motor. Hal menarik yang perlu dicatat adalah bahwa proses pemberantasan terorisme pada masa Soeharto dan Orde Baru terkesan sangat didominasi oleh satu angkatan saja; TNI AD, di mana Kesatuan Elitnya Kopassus menjadi instrument utama dalam memberantas jaringan terorisme lewat Detasemen 81. Selain itu, Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) serta Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang merupakan instrument pendukung bagi jalannya proses pemberantasan terorisme di Indonesia. Namun demikian, harus diakui bahwa justru otak dari operasional pemberantasan terorisme di Indonesia justru berada di tangan Kopkamtib. Lembaga superbody ini mengendalikan semua actor keamanan, baik polisi, militer maupun intelijen, termasuk jaringan territorial yang merupakan struktur tentara untuk mengawasi berbagai aktivitas social politik masyarakat selama Soeharto berkuasa, bahkan komando territorial TNI ini sangat efektif dalam memantau dan melakukan berbagai tindakan pencegahan dini berbagai aktivitas yang membahayakan eksistensi Negara. Kopkamtib pada akhirnya dibubarkan pada pertengahan tahun 1980-an dan digantikan dengan Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakortanas) yang kurang lebih sama wewenangnya dengan Kopkamtib. Setelah Soeharto dan Orde Baru-nya tumbang, maka lembaga tersebut dibubarkan oleh Abdurrahman Wahid.
Pada masa Soeharto, proses pemberantasan terhadap gerakan separatisme maupun terorisme selalu dilabeli dua pendekatan: Ekstrim Kanan dan Ekstrim Kiri. Ekstrim Kanan mengacu kepada gerakan Islam radikal dan fundamental yang merupakan generasi penerus kelompok pemberontak DI/TII yang telah bermetamorfosis menjadi sel-sel perlawananan terhadap pemerintahan Soeharto, sebagaimana yang terjadi dalam Peristiwa Tanjung Priok dan juga Talang Sari di Lampung. Sedangkan Ekstrim Kiri lebih berkonotasi pada gerakan sisa-sisa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah melakukan dua kali pemberontakan yang gagal. Sel-sel dari sisa-sisa PKI ini terepresentasi pada kelompok-kelompok pemuda dan mahasiswa radikal, yang mengusung isu anti pemerintahan Soeharto, seperti Partai Rakyat Demokratik, yang disinyalir merupakan reinkarnasi dari PKI, yang kemudian dibubarkan pasca Peristiwa 27 Juli 1996.
Sedangkan untuk memadamkan pemberontakan gerakan separatism di tiga daerah; Aceh, Timor Timur, dan Papua pengerahan militer ke tiga daerah tersebut secara efektif dilakukan secara besar-besaran. Selain memanfaatkan jaringan komando territorial yang dimiliki oleh TNI, khususnya TNI AD, untuk daerah dengan eskalasi yang tinggi tersebut juga menerjunkan tambahan pasukan dari kesatuan angkatan lain, seperti Kopassus, Marinir TNI AL dan Paskhas TNI AU, sementara dari Polri yang terlibat adalah Brimob Polri. Gerakan separatisme ini menjadi kerikil dalam sepatu besar Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pada Pemerintahan B.J. Habibie, Timor Timur diberikan pilihan untuk memilih merdeka atau otonomi khusus. Dan rakyat di daerah bekas jajahan Portugal tersebut memilih merdeka. Sedangkan Aceh dan Papua memilih otonomi khusus, dengan menitikberatkan pada pengembangan potensi local daerah. Meski demikian kedua daerah tersebut rawan terhadap kemungkinan bangkitnya kembali separatism. Sementara separatism di Maluku cenderung bersifat fluktuatif, tergantung momentum politik, baik local maupun nasional.
Setelah Soeharto dan Rejimnya tumbang masih menyisakan permasalahan terkait dengan pemberantasan terorisme, tiga kasus yang mencolok adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Ujung Barat Indonesia, Organisasi Papua Merdeka(OPM) diujung Timur Indonesia, dan Timor Timur, di ujung Selatan Indonesia. Timor Timur diselesaikan dengan memesahkan diri dari NKRI melalui referendum, setelah otonomi khusus yang ditawarkan oleh Pemerintahan Habibie ditolak oleh sebagian besar masyarakat di Timor Timur, sedangkan separatism di Aceh dan Papua diselesaikan dengan lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 untuk pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua, dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 untuk pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh. Meski masih terdapat kekurangan dari pelaksanaan otonomi khusus tersebut, namun lebih kondusif dari sebelumnya, khusus di Aceh, pasca tsunami, dilakukan perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan GAM, dan diperkuat dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2006 yang mempertegas penyelesaian konflik tersebut yang lebih dari 30 tahun lalu berlangsung.
Selain itu, hal yang menarik adalah terjadinya pergeseran gerakan terorisme di Indonesia, dari yang berbasis pada etnis dan pendekatan keagamaan untuk mendirikan negara atau memisahkan diri dari Negara induk menjadi gerakan yang lebih universal, yakni tuntutan untuk mendirikan negara universal berbasis agama dan sangat anti Barat. Hal ini ditandai dengan peristiwa pembajakan pesawat komersial dan menabrakkannya ke menara kembar WTC pada tahun 2001, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 9/11. Di Indonesia, respon terhadap aksi terorisme tersebut adalah makin menguatnya konflik komunal dengan basis keagamaan, sebagaimana yang terjadi di Poso, Maluku, dan juga Kupang. Konflik-konflik tersebut sebenarnya telah meletus sejak awal tahun 1999, dengan peledakan sejumlah gereja dan tempat ibadah lainnya di malam Natal di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, dan sebagainya . Konflik Maluku yang awalnya dibangun untuk mengobarkan semangat separatism Republik Maluku Selatan, bergeser menjadi konflik agama dan meluas tidak hanya di Pulau Ambon tapi pulau-pulau lainnya termasuk ke Maluku Utara dan Poso. Kondisi tersebut diperparah dengan masuknya milisi-milisi berbasis agama seperti Laskar Jihad, dan Laskar Kristus, yang kemudian menjadikan Konflik di Maluku dan akhirnya Poso sebagai medan pertempuran. Meski begitu sesekali insiden pengibaran bendera RMS yang telah berganti nama menjadi Forum Kedaulatan Maluku (FKM) pimpinan Alex Manuputy juga terjadi.
Pemberantasan gerakan terorisme ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan sporadis. Hal ini disebabkan konsolidasi demokrasi yang tengah dijalani oleh Indonesia telah pula melemahkan kontrol negara atas masyarakatnya. Eforia politik atas nama demokrasi dan HAM menjadi dilemma bagi aparat keamanan Indonesia, baik TNI maupun Polri dalam mengambil tindakan secara tegas. Identifikasi konflik, separatisme dan aksi terror telah bercampur dengan minimnya kesiapan aparat dalam melakukan deteksi dini terhadap berbagai aksi terror yang saling tumpang tindih antara konflik komunal di Poso, separatism di Aceh, Papua, dan Maluku, serta gerakan fundamentalisme Islam yang memanfaatkan kondisi-kondisi tersebut, khususnya pada aksi peledakan bom dan konflik komunal di Poso dan Maluku. Bahkan tak jarang ajang pelatihan bagi kader-kader gerakan fundamentalisme Islam, yang kemudian dinamakan Jemaah Islamiyah dilakukan di Poso dan Maluku, selain dikirim ke Pakistan, Afganistan, dan Mindanao bercampur baur dengan warga lokal dan jaringan milisi; Laskar Jihad.
Pemberantasan terorisme pasca Soeharto ini juga makin kisruh karena aparat keamanan yang seharusnya melakukan koordinasi yang efektif justru bersaing dan berkompetisi satu dengan yang lainnya. Tak jarang juga terjadi konflik dan bentrok antar aparat keamanan tersebut khususnya TNI dan Polri . Hal tersebut salah satunya disebabkan karena kedua institusi tersebut telah berpisah, sehingga acapkali bentrok dan persaingan tidak sehat tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pemberantasan terorisme di Indonesia. Sehingga membuat proses pemberantasan terorisme tidak dapat berjalan dengan efektif. Kondisi ini disadari oleh masing-masing pimpinan aparat keamanan baik TNI, Polri, maupun BIN, hanya saja praktik di lapangan masih terjadi ketidaksinkronan satu dengan yang lain. Tak heran kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menerbitkan Keppres No. 13 Tahun 2005 untuk melegalisasi koordinasi antar aparat dalam pengamanan di Poso, agar aparat keamanan di Poso dapat bekerja sama.
Densus 88 AT dan Pemberantasan Terorisme di Indonesia
Harus diakui bahwa Peristiwa 9/11 telah mengubah paradigma aparat penegak hukum di Indonesia dalam memberantas terorisme. Hal ini tercermin dari bagaimana terkonsolidasi,dan terfokusnya pola pengembangan organisasi yang khusus dalam memberantas gerakan terorisme dalamberbagai varian dan jenis, dari mulai yang bernuansa separatism hingga pada kelompok pembuat terror dalam konflik komunal. Selama ini institusi anti terror tersebar di semua angkatan dan kepolisian serta lembaga intelijen, sehingga upaya untuk membangun institusi anti terror yang handal terhalang oleh problematika kompetisi dan sentiment angkatan. Tak heran apabila dimasa Pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati penguatannya justru berada di lembaga intelijen, karena lembaga tersebut diyakini terjadi pertemuan kepentingan antar angkatan, kepolisian, dan sipil. Meski demikian, tetap saja terjadi kompetisi internal di Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), kemudian berubah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) yang mengarah kepada konflik terbuka,dan puncaknya saat Hendropriyono memimpin BIN, di mana ada langkah peminggiran sejumlah anggota BIN yang berasal dari kepolisian dan sipil dalam tugas-tugas intelijen.
Momentum kampanye global perang terhadap terorisme menjadi titik balik bagi penguatan dan pembangunan institusi anti terror yang mapan, handal dan professional. Dan penguatan institusi anti terror tersebut pada akhirnya dilakukan di lembaga kepolisian, hal ini selain sebagai strategi untuk meraih dukungan dan bantuan dari negara-negara Barat untuk tetap mengucurkan bantuan untuk membangun institusi anti terror, sebagaimana diketahui bahwa militer Indonesia sejak tahun 1994 diembargo pengadaan persenjataan dan pendidikan militernya oleh negara-negara Barat karena menggunakan persenjataannya untuk melakukan pelanggaran HAM di Timor-Timur, Aceh, maupun Papua. Selain itu, disebabkan Polri dianggap sebagai lembaga yang mampu mengembangkan institusi anti terror ini kelak. Apalagi pada saat pengejaran para pelaku terror tersebut, di lapangan terjadi persaingan yang tidak sehat, sekedar contoh misalnya bagaimana BIN melakukan penangkapan terhadap salah satu pelaku kunci jaringan JI di Indonesia, dan langsung mengirimkannya ke Amerika Serikat tanpa berkoordinasi dengan Polri, sebagai institusi yang berwenang melakukan penangkapan. Ketika menguat kampanye perang global terhadap terorisme, Pemerintah Indonesia meresponnya dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian dipertegas dengan diterbitkanya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan Terorisme dalam bentuk Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 dan 2 Tahun 2002. Sebagai respon dari Inpres dan kemudian Perpu tersebut Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme yang langsung berada dibawah koordinasi Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan. Desk tersebut memiliki legitimasi dengan adanya Surat Keputusan (Skep) Menko Polkam yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan Nomor Kep. 26/Menko/Polkam/11/2002. Dalam Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, kesatuan Anti Teror Polri, yang lebih dikenal dengan Detasemen C Resimen IV Gegana, Brimob Polri bergabung dengan tiga organisasi anti terror angkatan dan intelijen. dalam perjalanannya institiusi anti teror tersebut kemudian melebur menjadi Satuan Tugas Antiterror dibawah koordinasi Departemen Pertahanan. Akan tetapi, lagi-lagi inisiatif yang dilakukan oleh Matori Abdul Djalil, Menteri Pertahanan berantakan, karena masing-masing kesatuan anti terror tersebut lebih nyaman berinduk kepada organisasi yang membawahinya. Praktik Satgas Anti Teror tersebut tidak efektif berjalan, selain karena eskalasi ancaman terror sejak Bom Bali I dan konflik komunal yang memaksa masing-masing kesatuan anti terror akhirnya berjalan sendiri-sendiri.
Akan tetapi, eskalasi terror yang begitu cepat memaksa Polri untuk mengkhususkan permasalahan anti terror pada satuan tugas khusus, dan akhirnya dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri yang tugas pertamanya adalah mengusut kasus Bom Natal tahun 2001 dilanjutkan dengan tugas-tugas terkait ancaman bom lainnya. Satgas Bom Polri ini menjadi begitu terkenal publik saat menangani beberapa kasus peledakan bom yang terkait dengan kalangan luar negeri, sebut saja misalnya Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia. Satgas ini berada dibawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, dan dipimpin oleh perwira polisi bintang satu. Kepala Satgas Bom Polri yang pertama adalah Brigadir Polisi Gories Mere , dan kemudian digantikan oleh Brigjen Polisi Bekto Suprapto, dan yang ketiga adalah Brigjen Polisi Surya Dharma Salim Nasution. Bekto dan Surya Dharma berturut-turut menjabat sebagai Komandan Densus 88 AT yang pertama dan kedua.
Disamping ada satuan anti terror Gegana Brimob Polri, dan Satgas Bom Polri, Polri juga memiliki organisasi sejenis dengan nama Direktorat VI Anti Teror di bawah Bareskrim Mabes Polri. Keberadaan Direktorat VI Anti Teror ini bertumpuk dan memiliki fungsi dan tugas yang sama sebagaimana yang diemban oleh Satgas Bom Polri, disamping itu dinamika yang sangat cepat perihal ancaman dan teror, Mabes Polri akhirnya melakukan reorganisasi terhadap Direktorat VI Anti Teror, di mana kemudian secara resmi Jenderal Da’I, Kapolri menerbitkan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 menandai terbentuknya Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri, disingkat Densus 88 AT Polri. Keberadaan Skep Kapolri tersebut merupakan tindaklanjut dari diterbitkannya UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme atau yang biasa disebut dengan UU Anti Terorisme , yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sedangkan TNI dan BIN menjadi unsure pendukung saja dari pemberantasan tindak pidana terorisme. Kondisi tersebut sesungguhnya sejalan dengan Inpres dan Perpu yang diterbitkan pemerintah sebelum undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme ini disahkan menjadi undang-undang.
Ada pertanyaan yang mengemuka yang berkembang di masyarakat, mengapa hanya Polri yang diberi wewenang dalam pemberantasan tindak pidana terorisme ini? Bukankah kesatuan anti terror dari TNI, baik Kopassus, Denjaka, maupun Detasemen Bravo lebih handal dan memiliki pengalaman yang lebih mumpuni? Pertanyaan tersebut juga berkembang di internal TNI seputar kewenangan yang diberikan kepada Polri dalam pemberantantasan terorisme di Indonesia. Ada tiga alasan mengapa akhirnya Polri diberikan kewenangan utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, yakni: Pertama, pemberian kewenangan utama pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan strategi pemerintah untuk dapat berpartisipasi dalam perang global melawan terorisme, yang salah satunya adalah mendorong penguatan kesatuan khusus anti terorisme yang handal dan profesiona, dengan dukungan peralatan yang canggih dan SDM yang berkualitas. Sebagaimana diketahui bahwa pembentukan Densus 88 AT Polri ini menghabiskan dana lebih dari Rp. 15 Milyar, termasuk penyediaan senjata, peralatan intai, alat angkut pasukan, operasional, dan pelatihan, yang merupakan bantuan dari negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat dan Australia. Sebagaimana diketahui bahwa ketika Densus 88 AT Polri terbentuk, TNI masih diembargo persenjataan dan pendidikan militernya oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Sehingga salah satu strategi untuk mendirikan kesatuan anti terror tanpa terjegal masa lalu TNI adalah dengan mengembangkannya di kepolisian.
Kedua, kejahatan terorisme merupakan tindak pidana yang bersifat khas, lintas negara (borderless) dan melibatkan banyak factor yang berkembang di masyarakat. Terkait dengan itu terorisme dalam konteks Indonesia dianggap sebagai domain kriminal, karena cita-cita separatism sebagaimana konteks terorisme dulu tidak lagi menjadi yang utama, tapi mengedepankan aksi terror yang mengganggu keamanan dan ketertiban, serta mengancam keselamatan jiwa dari masyarakat. Karenanya terorisme dimasukkan ke dalam kewenangan kepolisian.
Ketiga, menghindari sikap resistensi masyarakat dan internasional perihal pemberantasan terorisme jika dilakukan oleh TNI dan intelijen. sebagaimana diketahui sejak Soeharto dan rejimnya tumbang, TNI dan kemudian lembaga intelijen dituding sebagai institusi yang mem-back up kekuasaan Soeharto. Sehingga pilihan mengembangkan kesatuan anti terror yang professional akhirnya berada di kepolisian, dengan menitikberatkan pada penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, khususnya Pasal 2,4, dan 5.Dengan alasan tersebut di atas, keberadaan Densus 88 AT Polri harus menjadi kesatuan professional yang mampu menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagaimana ditegaskan pada awal pembentukan. Bila merujuk pada Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 30 Juni 2003 maka tugas dan fungsi dari Densus 88 AT Polri secara spesifik untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi terror dengan modus peledakan bom. Dengan penegasan ini berarti Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana tugas penanggulangan terror dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam UU Anti Terorisme.
Tidak sampai disitu saja, penamaan Densus 88 AT Polri juga dipertanyakan banyak pihak, semisal adanya angka 88 di depan penamaan Densus dianggap mengekor pada Delta 88, pasukan khusus Amerika Serikat. Padahal angka 88 dibelakang nama densus adalah simbolisasi sepasang borgol, yang identik dengan tugas kepolisian. Di samping itu juga angka 88 dianggap sebagai angka kramat,karena angka tersebut merupakan representasi jumlah korban terbanyak dalam Peledakan Bom Bali I, tahun 2002 yang merupakan warga negara Australia. Di samping itu angka delapan juga dimaknai oleh Densus 88 AT Polri sebagai pekerjaan pemberantasan terorisme yang tak kenal henti dan dan berkesinambungan. Sedangkan tulisan AT atau anti terror yang berada dibelakang angka 88 dianggap sebagai mengklaim keseluruhan lembaga anti teror yangada di Indonesia, sehingga dianggap sebagai upaya untuk mengambil porsi kewenangan kesatuan anti terror lain yang masih aktif, baik di TNI maupun BIN. Penggunaan anti terror dibelakang angka 88 sesungguhnya merujuk pada reinkarnasi dari Satgas Bom dan Direktorat VI Anti Teror yang berada di bawah kendali Bareskrim Polri menjadi Densus 88 AT Polri. Penegasan anti terror ini juga untuk membedakan dan membatasi wewenang Densus 88 AT Polri hanya terbatas pada fungsi kontra terror, khususnya terhadap aksi terror dengan bahan peledak.
Sementara itu secara organisasional Densus 88 AT berada di Mabes Polri dan Polda, untuk yang di Mabes Polri berada di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yang dipimpin oleh Kepala Densus 88 AT Polri dengan pangkat Brigadir Jenderal Polisi. pada tingkat kepolisian daerah, Densus 88 AT Polri berada di di bawah Direktorat Serse (Ditserse) dipimpin oleh perwira menengah polisi, tergantung tipe Poldanya, untuk Polda Tipe A, Densus 88 AT dipimpin oleh perwira menengah berpangkat Komisaris Besar Polisi, sedangkan di Polda Tipe B dan Persiapan, dipimpin oleh perwira menengah berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi. pada tingkat Mabes Polri, Kepala Densus 88 AT baru terjadi dua kali pergantian pimpinan, yakni yang pertama Brigjen Polisi Bekto Suprapto, yang dipindah menjadi Kapolda Sulawesi Utara, yang digantikan oleh Brigjen Polisi Surya Dharma Salim Nasution, mantan Direktur I Bidang Keamanan dan Transnasional Bareskrim Mabes Polri.
Sedangkan struktur organisasi dari Densus 88 AT Polri memiliki empat pilar pendukung operasional setingkat sub-detasemen (Subden), yakni: Subden Intelijen, Subden Penindakan, Subden Investigasi, dan Subden Perbantuan. Di bawah Subden terdapat unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional Densus 88 AT Polri, seperti pada Subden Intelijen terdapat Unit Analisa, Deteksi, Unit Kontra Intelijen, pada Subden Penindakan terdapat Unit Negoisasi, Pendahulu, Unit Penetrasi, dan Unit Jihandak. Sedangkan pada Subden Investigasi membawahi Unit Olah TKP, Unit Riksa, dan Unit Bantuan Tekhnis, terakhir pada Subden Bantuan terdapat Unit Bantuan Operasional dan Unit Bantuan Administrasi.
Salah satu prasyarat dari rekruitmen bagi anggota dan personil Densus 88 AT Polri dari negara pemberi bantuan dana untuk pengembangan dan pembentukan kesatuan khusus anti teror adalah anggota dan personil Polri sedapat mungkin belum pernah ditugaskan di Aceh, Papua, maupun Timor-Timur yang banyak melakukan pelanggaran HAM. Akan tetapi agak sulit untuk direalisasikan persyaratan tersebut, apalagi banyak dari personil Densus 88 ATPolri berasal dari Brimob Polri, kesatuan khusus yang memiliki kualifikasi tempur. Sehingga permintaan tersebut diperlonggar dengan pola pendekatan ketrampilan yang layak sebagai anggota kesatuan khusus. Di samping dari unsure Brimob, khususnya dari Gegana, unsure lain yang menjadi pilar pendukung Densus 88 AT adalah dari Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri dan Bareskrim. Di samping tiga pilar pendukung operasional tersebut, rekrutimen personil Densus 88 AT Polri juga dapat berasal dari akademi kepolisian, Sekolah Polwan,serta unsure sekolah kekhususan yang ada di lingkungan Polri.
Saat ini personil Densus 88 AT Polri di tingkat pusat tak lebih dari 400 orang dengan kualifikasi anti terror terbaik. Sedangkan di tingkat Polda, personil Densus 88 AT Polri berkisar antara 50 hingga 75 personil. Sebelum direkrut dan menjadi bagian dari Densus 88 AT Polri, para anggota Polri tersebut terlebih dahulu dilatih di Pusat Pendidikan (Pusdik) Reserse Polri di kawasan Mega Mendung, Puncak, Jawa Barat serta Pusat Pendidikan Anti Teror Nasional (Platina), Kompleks Akademi Kepolisian, Semarang. Para pengajarnya, selain internal Polri, juga berasal dari instruktur CIA, FBI, National Service-nya Australia, dan jaringan organisasi intelijen Barat lainnya. Selain diajari berbagai teori dan metodologinya, kedua pusat pendidikan tersebut juga difasilitasi oleh simulator dan pendukung lainnya. Sementara itu dukungan persenjataan dan peralatan pendukung lainnya dapat dikatakan sangat canggih, sebut saja misalnya senapan serbu jenis Colt M4 5.56 mmdan yang terbaru jenis Steyr-AUG, atau senapan penembak jitu, Armalite AR-10, serta shotgun model Remington 870 yang ringan dan sangat handal buatan Amerika Serikat. Selain persenjataan, setiap personil Densus 88 AT Polri dilengkapi dengan peralatan personal maupun tim; alat komunikasi personal,GPS, kamera pengintai malam, alat penyadap dan perekam mikro, pesawat interceptor, mesin pengacak sinyal, dan lain-lain. Untuk mendukung keberhasilan operasional, Densus 88 AT Polri juga bekerja sama dengan operator telepon seluler, dan internet untuk mendeteksi setiap pergerakan kelompok terorisme dalam berkomunikasi. Sementara untuk unit penjinak bom juga diperlengkapi dengan peralatan pendukung, semisal pendeteksi logam terbaru, sarung tangan dan masker khusus, rompi dan sepatu anti ranjau darat, serta kendaraan taktis peredam bom. Sempat juga diisukan Densus 88 AT Polri memiliki pesawat Hercules seri C-130 sendiri untuk mempermudah mobilisasi personil, tapi isu tersebut sulit dibuktikan, karena faktanya Mabes Polri telah membentuk Densus 88 AT Polri di tingkat Polda, ini berarti juga menjawab jika isu tersebut tidak sepenuhnya benar. Seperti diketahui bersama bahwa dukungan anggaran untuk membentuk kesatuan anti terror dengan naman Densus 88 AT Polri ini berasal dari Amerika Serikat, tepatnya melalui Jasa Keamanan Diplomatik (US Diplomatic Security, State Department). Di awal pembentukan Densus 88 AT Polri tak kurang dari Rp. 150 Milyar pada medio tahun 2003 , sedangkan tahun berikutnya operasional Densus 88 AT Polri pada tahun 2004 hanya Rp. 1.5 Milyar, hal ini bisa jadi disebabkan karena tertutupi oleh alokasi anggaran pembentukan di pertengahan tahun 2003. Dan hal tersebut terbukti, pada tahun 2005 anggaran yang digunakan membesar menjadi Rp. 15 Milyar, dan pada anggaran tahun 2006 meningkat fantastis menjadi Rp. 43 Milyar . Dana tahun 2006 tersebut belum untuk pembentukan Densus 88 AT Polri di daerah, karena pada kenyataannya para Kapolda yang bersangkutan kreatif dalam mencari bantuan anggaran untuk pengembangan Densus 88 AT Polri di wilayahnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Irjen Pol. Firman Gani, ketika menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya yang mampu membangun gedung Densus 88 AT atas bantuan swadaya. Meski dilarang sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, namun dengan keterbatasan anggaran negara,maka proses tersebut menjadi satu pembenaran bagi Polda-Polda lain untuk mengikuti jejak Polda Metro Jaya .
Dengan mengacu pada uraian tersebut diatas, maka tak heran apabila Densus 88 AT Polri diharapkan oleh internal Polri dan pemerintah Indonesia untuk menjadi kesatuan anti terror yang handal dan professional. Sejak tahun 2003 hingga tulisan ini dibuat, Densus 88 AT Polri telah berperan aktif dalam pemberantasan tindak pidana Terorisme, sebagaimana amanat UU No.2 Tahun 2002 Tentang Polri, dan UU Anti Terorisme. Dua bulan setelah kesatuan ini terbentuk, langsung dihadapi dengan terjadinya serangan bom mobil di Hotel J.W. Marriot, yang merupakan hotel miliki jaringan Amerika Serikat, 13 orang tewas. Dalam hitungan minggu, jaringan pengebom hotel mewah tersebut dapat dibongkar, dan ditangkap.
Masa persidangan para pelaku bom Marriot belum usai, pada 9 September 2004 Jakarta dikejutkan kembali dengan ledakan bommobil berkekuatan besar di depan Kedutaan Besar Australia, Jl. Rasuna Said, Kuningan Jakarta. Peledakan bom ini menewaskan puluhan orang yang tidak terkait dengan kedutaan besar tersebut. yang fantastis adalah dalam waktu satu bulan, Densus 88 AT Polri bersama Australia Federal Police (AFP) berhasil membongkar kasus tersebut, dan menangkap para pelakunya diganjar dengan penjara belasan tahun dan hukuman mati .Setahun setelah ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia, atau yang dikenal dengan Bom Kuningan, Bali, Pulau Dewata kembali diguncang bom dengan kekuatan besar, meski tak sebesar Bom Bali I. Meski demikian ledakan tersebut 23 orang dan melukai ratusan lainnya. Sekali lagi, dalam tiga bulan, dengan gerak cepat Densus 88 AT Polri dapat membongkar dan menangkapi para pelakunya. Bom Bali II ini pula yang mendekatkan Densus 88 AT Polri dengan gembong terorisme yang paling dicari di Indonesia Dr. Azahari. Selang satu bulan setelah Bom Bali II, Densus 88 AT Polri menyerbu kediaman buronan teroris Dr. Azahari, di Batu Malang, Jawa Timur. Penyerbuan ini menyebabkan gembong teroris yang paling dicari di Indonesia dan Malaysia ini tewas, dan kasus inilah yang kemudian melambungkan nama Densus 88 AT Polri sebagai satuan anti terror terkemuka di Asia. Dalam waktu bersamaan juga Densus 88 AT Polri berhasil menangkap pelaku peledakan bom di Pasar Tradisional Kota Palu. Pelaku merupakan salah satu dari kelompok yang bertikai di Poso.
Pada tahun 2006, Densus 88 AT Polri hampir menangkap salah satu gembong teroris lainnya; Noordin M. Top, dalam penggrebekan yang dilakukan Densus 88 AT Polri di Dusun Binangun, Wonosobo, Jawa Tengah tersebut Noordin dapat meloloskan diri dari kejaran personil Densus 88 AT Polri. Penyergapan yang disertai dengan tembak menembak tersebut Densus 88 AT Polri berhasil menangkap dua orang dan menembak mati dua tersangka lainnya . Selang setahun kemudian, tepatnya pada 22 Maret 2007, Densus 88 AT Polri melakukan penggerebekan terhadap Kelompok Terorisme Jawa Tengah dan berhasil membongkar jaringan persenjataan dan bom terbesar sejak 30 tahun terakhir di kawasan Sleman, Yogyakarta, dan menangkap tujuh tersangka yang diduga pemilik, penyimpan, dan perakit bahan peledak. Dalam penyergapan tersebut juga menewaskan dua orang pelaku yang berupaya melarikan diri.
Menyusul terbongkar jaringan Terorisme Kelompok Jawa Tengah, Densus 88 AT Polri juga berhasil menagkap dan melumpuhkan Abu Dujana alias Ainul Bahri Komandan Sayap Militer Jama’ah Islamiyah (JI),dan Zarkasih, Amir JI . Penangkapan keduanya merupakan prestasi yang makin melambungkan nama Densus 88 AT Polri dan membuat Densus 88 AT Polri dapat membuktikan bahwa Indonesia memiliki kesatuan anti terror yang handal dan professional.
Peran yang melekat pada Densus 88 AT Polri ini sesungguhnya mempertegas komitmen Polri, dan pemerintah Indonesia dalam berperan aktif dalam Perang Global melawan Terorisme. Sepanjang empat tahun sejak terbentuknya, peran dan fungsi Densus 88 AT Polri, tidak saja mengharumkan nama kepolisian, tapi juga negara didunia internasional. Dan memperluas keorganisasian Densus 88 AT Polri hingga ketingkat daerah menjadi penegas bahwa komitmen Polri dalam memberantas tindak pidana terorisme tidak main-main. Bahkan dalam perjalanannya, Densus juga tidak hanya terfokus pada identifikasi dan pengejaran aksi terror dan bom, tapi juga membantu unit lain di Polri dalam menindak pelaku kejahatan lainnya seperti Illegal Logging, narkotika dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang pula Densus 88 AT Polri membantu identifikasi permasalahan kewilayahan sebagaimana yang pernah terjadi pada kasus pengibaran bendera RMS pada acara kenegaraan di Maluku.
Meski terfokus pada pemberantasan tindak pidana terorisme, sesungguhnya Densus 88 AT Polri juga memiliki tiga peran dan fungsi yang melekat lainnya yakni: Pertama, karena Densus 88 AT Polri berada di Bareskrim Mabes Polri, dan Ditserse Polda, maka personil Densus 88 AT juga merupakan personil dengan kualifikasi seorang reserse yang handal. Sehingga tak heran apabila setiap aktivitas yang melibatkan Bareskrim dan Ditserse, hampir selalu menyertakan personil Densus 88 AT Polri di lapangan, khususnya terkait dengan kejahatan khusus, seperti; narkoba, pembalakan liar, pencurian ikan, dan lain-lain. Salah satu contohnya adalah kasus pembalakan liar di Riau dan Kalimantan Barat yang diduga melibatkan perwira polisi, Densus 88 AT Polri bersama dengan Brimob Polda melakukan perbantuan kepada Bareskrim Mabes Polri dan Ditserse Polda .
Kedua, seorang personil Densus 88 AT Polri juga merupakan seorang anggota Polri yang memiliki kualifikasi sebagai seorang anggota intelijen keamanan, dalam melakukan pendeteksian, analisis, dan melakukan kontra intelijen. Dalam beberapa kasus keterlibatan anggota Densus 88 AT dalam kerja-kerja intelijen kepolisianjuga secara aktif mampu meningkatkan kinerja dari Mabes Polri ataupun Polda setempat, sebagaimana yang dilakukan Polda-Polda yang wilayahnya melakukan Pilkada dan rawan konflik lainnya.
Ketiga, seorang personil Densun 88 AT Polri juga adalah seorang negoisator yang baik. Seorang negoisator dibutuhkan tidak hanya oleh Densus 88 AT tapi juga oleh organisasi kepolisian secara umum. Artinya seorang negoisator dibutuhkan untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa yang lebih besar, semisal kasus penyanderaan oleh anggota terorisme, ataupun mengupayakan berbagai langkah agar prosesnya meminimalisir resiko, dengan tetap menegakkan hokum, sebagai pilar utama tugas kepolisian secara umum. Negoisasi sangat pelik sempat dilakukan saat mengepung tempat persembunyian Dr. Azahari dan Noordin M.Top. Meski keduanya tidak dapat ditangkap,karena Dr. Azahari memilih meledakkan diri, dan Noordin M.Top berhasil lolos, namun prosedur dan langkah yang dilakukan oleh negoisator dari Densus 88 AT Polri relatif berhasil, karena tidak sampai melukai ataupun berdampak negative pada masyarakat sekitarnya.
Koordinasi Antar Kesatuan Anti Teror
Keberhasilan Densus 88 AT Polri dalam menyempitkan ruang gerak kelompok terorisme di Indonesia memberikan konsekuensi yang tidak kecil bagi Densus 88 AT Polri, maupun hubungan antar aparat keamanan lainnya. Tewasnya Dr. Azahari dan tertangkapnya sejumlah petinggi JI di Indonesia membuat pola pemberantasan tindak pidana terorisme terfokus pada Noordin M.Top, yang hingga saat ini belum tertangkap. Dan konsekuensi dari keberhasilan Densus 88 AT Polri ini berdampak pada hubungan antar kesatuan anti teror di Indonesia yang makin kurang harmonis, meski secara tugas dan fungsi Densus 88 AT Polri dibatasi kewenanganya hanya pada pemberantasan terror yang menggunakan bom dan aksi terror lainnya. Ada dua konsekuensi yang mengikuti keberhasilan Densus 88 AT Polri, yakni: Pertama, konsekuensi internal. Tipisnya perbedaan antara unit dan kesatuan anti terror yang ada di tubuh Polri mengandung resiko konflik internal. Benih-benih konflik tersebut menguat saat proses penyerbuan tempat persembunyian Dr. Azahari di Batu, Malang, Jawa Timur. Sebagaimana diketahui bahwa di internal Polri terdapat empat unit yang memiliki kualifikasi anti terror: Brimob Polri dengan Gegana dan Wanteror-nya, Satgas Bom Polri, Direktorat VI Anti Teror, dan Densus 88 AT Polri. Dalam penyerbuan tersebut terjadi friksi kecil antara personil Densus 88 AT Polri dengan unit lainnya.
Hal yang menarik adalah meski Densus 88 AT telah terbentuk, keberadaan Direktorat VI Anti Teror, Satgas Bom Polri, serta keberadaan Detasemen C Resimen IV Gegana Brimob Polri masih tetap dipertahanankan. Asumsi awal sesungguhnya sangat baik, yakni masing-masing kesatuan tersebut dapat saling mengisi dan bersinergis, akan tetapi pada kenyataannya keberadaan tiga kesatuan anti terror di tubuh Polri seolah mengulang proses yang terjadi pada Satgas Anti Teror yang digagas Matori Abdul Djalil, di mana minim koordinasi dan terjadi persaingan antara satu dengan yang lainnya. Beruntung, meski terlambat Kepala Bareskrim, Bambang Hendarso Danuri kemudian membubarkan Satgas Bom Polri, yang merupakan bagian dari badan yang dia pimpin, dan berupaya membesarkan nama Densus 88 AT,yang juga dibawah kendalinya. Harus diakui bahwa keberadaan tiga kesatuan anti terror di dalam tubuh Polri ini menjadi bagian yang kurang baik, bagi internal Polri, setidaknya dibutuhkan penegasan peran dan fungsi masing-masing. Sampai saat ini peran dan fungsi antara Direktorat VI Anti Teror, Densus 88 AT Polri, dan Brimob Polri hampir sama dan mirip satu dengan yang lainnya, meski hingga saat ini belum terjadi permasalahan yang mengemuka, namun bukan tak mungkin permasalahan tersebut muncul dan menjadi problematika di masa yang akan datang.
Kedua, konsekuensi eksternal. Keberhasilan Densus 88 AT Polri telah menjawab keraguan dari petinggi di TNI dan BIN tentang kemampuan Polri dalam mengembangkan kesatuan anti terror yang professional dengan kualifikasi terbaik. Kondisi ini mengarah kepada konflik terbuka antara kesatuan anti terror di lapangan, khususnya terkait dengan penanganan separatism di Aceh dan Papua, serta konflik komunal seperti di Poso dan Maluku, dimana Densus 88 AT Polri, karena berada di bawah Ditserse Polda, maka dilibatkan juga pada operasional kasus-kasus tersebut di atas. Padahal, bila mengacu kepada UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri dan UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI separatism menjadi titik temu tugas antara TNI dan Polri, di mana TNI menjadi unsur utama, dan Polri menjadi unsur pendukung. Selama ini penugasan dari terhadap aksi terror terkait separatism adalah oleh Brimob Polri, dengan unit Wanteror dan Gegana.
Dua konsekuensi tersebut harus disikapi dengan pendekatan kelembagaan dan ancaman terror dan eksistensi bangsa ini. Terkait dengan kelembagaan dibutuhkan koordinasi yang efektif dan solid, agar masing-masing kesatuan anti terror dapat menjalankan peran dan fungsinya secara efektif dan professional. Dalam konteks ini dibutuhkan garis penegas dan koordinasi. Sekedar gambaran misalnya Detasemen Penanggulangan Teror Kopassus lebih fokus pada aksi terror yang terjadi di perbatasan negara, separatism dengan intensitas tinggi, serta ancaman terror terkait dengan kedaulatan negara, dengan spesialisasi pada perang kota, pembajakan pesawat, dan kontra intelijen. Sementara itu Den Bravo Paskhas TNI AU lebih banyak memfokuskan pada pengamanan Alat utama system persenjataan (Alutsista), anti pembajakan pesawat, dan kontra intelijen. sedangkan Den Jaka memiliki spesialisasi anti pembajakan laut, segala bentuk aksi terror laut, sabotase, dan kontra intelijen. dan Densus 88 AT lebih memfokuskan pada segala bentuk terror yang menggunakan media bom yang akan mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat dan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri). Dari empat kesatuan anti terror ini sebenarnya ada pembatas yang sangat jelas, yakni masing-masing memiliki peran dan fungsinyamasing-masing. Hanya ada irisan tugas dan peran dari keempat kesatuan anti terror ini yakni pada kualifikasi intelijen dan kontra intelijen. selain itu masing-masing kesatuan juga ada yang memiliki kesamaan peran, seperti antara Den Gultor dengan Den Bravo, yang sama-sama memiliki kualifikasi anti pembajakan pesawat terbang.
Sementara bila dilihat dari ancaman aksi terror di masa yang akan datang bila mengacu kepada Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2008, maka setidaknya terdapat empat ancaman terhadap eksistensi negara yakni: Separatisme, terorisme, konflik komunal, dan kejahatan transnational. Pada ancaman separatisme, jika memungkinkan keempat kesatuan anti terror tersebut dapat ditugaskan bersamaan dengan masing-masing kualifikasinya. Sebagai dalam definisi terorisme yang lebih luas, separatism digolongkan sebagai salah satu tipe dari terorisme, karena cenderung menggunakan kekerasan,dan terror. Kemungkinan meningkatnya ancaman terorisme tersebut adalah kegagalan perjanjian perdamaian di Aceh, serta Otonomi Khusus di Papua. Pada ancaman terrorism, Densus 88 AT Polri memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan kesatuan anti terror lainnya. Hal ini disebabkan karena kejahatan terorisme merupakan spesialisasi kemampuan yang dimiliki oleh Densus 88 AT Polri. Sementara kesatuan anti terror lainnya dapat saja diperbantukan tentunya dengan spesifikasi kejahatan yang terkait dengan kemampuan kesatuan-kesatuan tersebut, misalnya pembajakan pesawat bisa saja Den Gultor dan Den Bravo yang melakukan tindakan dengan koordinasi Densus 88 AT Polri.
Sedangkan pada ancaman yang terkait konflik komunal sedapat mungkin proses penyelesaiannya dilakukan oleh unit lain yang ada diluar kesatuan anti terror, seperti Brimob Polri ataupun kesatuan yang ada di TNI lainnya, sebagaimana yang dilakukan pada Kerusuhan di Kalimantan dan Kupang. Khusus pada penanganan konflik komunal di Poso dan Maluku, Densus 88 AT Polri terlibat karena disinyalir konflik tersebut dimanfaatkan oleh jaringan terorisme dengan berbagai aksi terror yang dilakukan di kedua tempat tersebut.Dan terakhir, pada kejahatan transnational, sangat dimungkinkan keempat kesatuan anti terror ini terlibat aktif. Hal tersebut dikarenakan kejahatan transnational memanfaatkan berbagai sarana, baik darat, laut, maupun udara.
Untuk membangun koordinasi yang efektif tidak hanya terbatas pada pertemuan antara kepala staf dan kepolisian,tapi dibutuhkan satu mekanisme yang mengikat internal. Ada dua prasyarat agar koordinasi dapat berjalan dengan baik, yakni: Pertama, perlu ada revisi terhadap UU Anti Terorisme agar lebih komprehensif, tidak sekedar mengatur proses tindak pidana terorisme terkait dengan jaringan international seperti Al Qaida,dan Jama’ah Islamiyah, melainkan juga menyangkut efek gerakan separatism, konflik komunal,dan kejahatan transnational.Kedua, perlu diefektifkan kembali Desk Koordinasi Anti Teror yang digagas oleh Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan. Artinya Satgas Abti Teror sebagaimana yang digagas oleh Menteri Pertahanan waktu itu, Matori Abdul Djalil, akan ditolak oleh Polri, karena Departemen Pertahanan dianggap sebagai representasi dari institusi militer. Sehingga dibutuhkan institusi yang netral, salah satunya adalah Menko Polkam. Sehingga, dengan adanya koordinasi yang efektif antar kesatuan anti terror akan memberikan satu garansi bagi makin efektifnya pemberantasan terorisme di Indonesia, dengan tetap bersandar pada batasan wewenang yang dimiliki oleh masing-masing kesatuan tersebut. Dan kehadiran Densus 88 AT Polri, harus dipahami sebagai bagian dari upaya untuk memperkokoh barisan kesatuan anti teror di Indonesia dalam memberantas terorisme.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan Densus 88 AT Polri sebagai salah satu kesatuan anti terror yang telah ada mampu memberikan bukti yang efektif dan terukur. Peran Densus 88 AT Polri yang dibatasi pada pemberantasan terorisme bernuansa terror bom menjadi satu kekhususan yang memberikan berkah bagi Polri. Setidaknya bila diukur dengan pencitraan prestasi, stimulasi dan efektifitas pengembangan SDM serta peningkatan sarana dan prasarana. Terlepas dari keberhasilan yang diraih oleh Densus 88 AT Polri masih menyisakan permasalahan terkait dengan batasan tugas dan fungsi di internal Polri dengan Brimob Polri, khususnya Unit Gegana dan Unit Wanteror. Perlu dipertegas batasan dan koordinasi di lapangan antara kedua kesatuan khusus yang dimiliki oleh Polri tersebut. Sedangkan permasalahan koordinasi dan pembagian wewenang dengan kesatuan anti terror dari TNI dibutuhkan penegasan adanya payung hukum yang mempertegas batasan dan koordinasi tugas dan fungsi di masa yang akan dating. Sebab, sebagaiamana diketahui bahwa ancaman terorisme akan makin berkembang dengan berbagai varian dan model. Dan menggantungkan harapan hanya pada satu kesatuan anti terror saja tentu bukan pilihan bijak. Sehingga perlu koordinasi dengan tahapan yang lebih detail dan memberikan gambaran yang seutuhnya akan pentingnya menjaga eksistensi negara dan masyarakatnya dari ancaman terror.
Sabtu, 19 Desember 2009
Sejarah Peradilan Militer
Peralihan kekuasaan kehakiman secara organisasi, administrasi dan financial dari lembaga eksekutif ke Mahkamah Agung RI berdampak adanya restrukturisasi struktur organisasi yang ada di Mahkamah Agung RI. Restrukturisasi yang terjadi di Mahkamah Agung RI setelah berlangsungnya peradilan satu atap di Mahkamah Agung RI berkonsekewensi logis adanya pengembangan organisasi yang ada di Mahkamah Agung RI. Gambaran umum sebelum berlakunya peradilan satu atap Mahkamah Agung RI hanya melaksanakan pembinaan organisasi, administrasi dan financial untuk Mahkamah Agung RI, namun setelah adanya Peradilan satu atap di Mahkamah Agung RI, beban kerja yang harus ditanggung meliputi pembinaan organisasi, administrasi dan financial dari pengadilan tingkat pertama, banding maupun kasasi pada 4 (empat) lingkungan peradilan (Umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara), dengan jumlah kurang lebih 750 Pengadilan (tingkat pertama s.d tingkat banding).
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara merupakan unit organisasi baru pada Mahkamah Agung, adalah unit eselon I yang mempunyai tugas antara lain merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan dan standarisasi teknis dibidang administrasi, keuangan dan organisasi ketatalaksanaan bagi tenaga teknis peradilan militer dan tata tusaha negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Sekretariat Mahkamah Agung dan Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor MA/SEK.07/SK/III/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Mahkamah Agung RI.
Sebelum adanya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut, struktur organisasi/unit kerja yang menangani teknis administrasi perkara pidana Militer dan perkara Tata Usaha Negara pada Mahkamah Agung berada di 2 unit kerja yaitu, untuk perkara pidana militer berada dibawah Direktorat Pidana yang di bawahnya terdapat Sub Direktorat Kasasi & PK Pidana Militer, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi Direktorat Pidana Militer tersendiri. Sedangkan untuk unit kerja yang menangani perkara Tata Usaha Negara telah terbentuk Direktorat Tata Usaha Negara tersendiri.
Tupoksi yang diemban oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha sebagaimana diuraikan diatas yaitu merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan dan standarisasi teknis dibidang administrasi, keuangan dan organisasi ketatalaksanaan bagi tenaga teknis Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara, tidak ada salahnya jika kita mengetahui juga sedikit perkembangan dan perjalanan terbentuknya Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara./p>
Sejarah Terbentuknya Peradilan Militer Di Indonesia
a. Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Sebelum PD II peradilan militer Belanda di kenal dengan nama ‘Krijgsraad’ dan ‘Hoog Militair Gerechtshof’, hal ini sebagaimana tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 no. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het Hoog Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 no. 163.
Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi pidana materil yang anggotanya terdiri dari anggota angkatan darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL dan Angkatan Laut Belanda. Untuk diketahui, Angkatan Laut ini merupakan bagian integral dari Angkatan Laut kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), sedangkan KNIL merupakan organisasi tersendiri dalam arti terlepas dari tentatara kerajaan Belanda (Koninklijke Leger). Atas dasar ini maka KNIL diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair Gerechtshop pada tingkat banding, sedangkan anggota angkatan laut diperiksa dan diadili oleh Zee Krijraad dan Hoog Militair Gerecht Shoof.
Krijgsraad terdapat di kota; Cimahi, Padang, dan Makassar dengan wilayah meliputi: Cimahi, Jawa Madura, Palembang, Bangka, Belitung, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan, Bali, Lombok, Padang : Sumbar, Tapanuli, Aceh dan Sumatera Timur, Makassar : Sulawesi, Maluku dan Timor Krijsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap anggota militer dengan pangkat Kapten ke bawah dan orang-orang sipil yang bekerja di militer. Sedangkan Hoog Militair Gerecht shoof merupakan pengadilan militer instansi kedua (banding) serta mengadili pada tingkat pertama untuk Kapten ke atas dan yang tertinggi di Hindia Belanda serta berkedudukan di Jakarta. Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2 maret 1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, membentuk Gunritukaigi (peradilan militer) untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang militer Jepang. Pengadilan militer ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan melawan balatentara Jepang dengan pidana terberat hukuman mati.
Gunritukaigi dikepalai oleh Sirei Kan (pembesar Balatentara Jepang), yang beranggotakan:
- Sinbankan; hakim yang memberikan putusan
- Yosinkan; hakim yang memeriksa perkara sebelum persidangan
- Kensatakun; Jaksa
- Rokusi; Panitera
- Keiza; Penjaga terdakwa
b. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Angkatan Perang RI dibentuk tanpa diikuti pembentukan Peradilan Militer. Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya UU. No. 7 tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan Bersenjata RI.. Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer. Bersamaan dengan ini pula dikeluarkan UU No. 8 tahun 1946 tentang Hukum acara pidana guna peradila Tentara.
Bahwa, dengan dikeluarkannya kedua undang-undang diatas, maka peraturan-peraturan di bidang peradilan militer yang ada pada zaman sebelum proklamasi, secara formil dan materil tidak diperlakukan lagi. Dalam UU No. 7 Tahun 1946 Penradilan tentara di bagi menjadi 2 Tingkat, yaitu:
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Agung.
Peradilan Tentara berwenang mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:
- Prajurit Tentara (AD) RI, Angkatan laut dan Angkatan Udara
- Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
- Orang yang tidak termasuk gol 1 dan 2 tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan.
Pengadilan juga diberi wewenang untuk mengadili siapapun juga, bila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam titel I dan II buku II KUHP yang dilakukan dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan bahaya. Mahkamah Tentara; pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili perkara dengan tersangka prajurit berpangkat Kapten ke bawah. Mahkamah Tentara Agung; pada tingkat pertama dan terakhir untuk perkara:
- Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor
- Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA
- Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah tentara
Mahkamah Tentara Agung pada tingkat kedua dan terakhir, mengadili perkara yang telah diputus oleh mahkamah tentara.
Persidangan di pisahkan menjadi dua yakni persidangan untuk perkara kejahatan dan perkara pelanggaran. Pada tahun 1948 dikeluarkan PP No. 37 tahun 1948, yang mengubah beberapa ketentuan susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya. PP ini mengatur peradilan tentara dengan susunan:
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Tinggi
- Mahkamah Tentara agung
Bahwa, sistem peradilan dua tingkat yang diatur sebelumnya berubah menjadi tiga tingkat, dengan masing-masing kewenangan;
- Mahkamah Tentara, mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan prajurit berpangkat kapten ke bawah
- Mahkamah Tentara Tinggi, pada tingkat pertama mengadili prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pada tingkat kedua memeriksa dan memutus segala perkara yang telah diputus mahkamah tentara yang diminta ulangan pemeriksaan.
- Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama da terakhir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar, Kastaf Angkatan Perang, Kastaf Angkatan; Darat, Laut, Udara, Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Komandan Teritorium Jawa, Komandan Teritorium Sumtera, Panglima Kesatuan Reserve Umum, Kastaf Pertahanan Jawa Tengah dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.
Dalam PP tersebut juga diatur adanya 3 tingkat kejaksaan tentara, yaitu :
- Kejaksaan Tentara
- Kejaksaan Tentara Tinggi
- Kejaksaan Tentara Agung
Hukum Pidana Materil yang berlaku pada masa berlakunya undang-undang No. 7 tahun 1946 dan PP No. 37 tahun 1948 adalah sebagai berikut :
- KUHP (UU. No. 1 tahun 1946)
- KUHPT (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167)
- KUHDT (UU. No. 40 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 168)
Pada masa tahun 1946 hingga 1948 diadakan Peradilan Militer Khusus, sebagai akibat dari peperangan yang terus berlangsunf yang mengakibatkan putusnya hubungan antar daerah. Peradilan militer khusus ini meliputi:
- Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP. No. 5 tahun 1946).
- Mahkamah Tentara Sementara (PP. No. 22 tahun 1947).
- Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP. No. 23 Tahun 1947).
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda Melakukan Agresinya yang kedua terhadap negara RI. Agresi tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan tentara nasional Indonesia dan selanjutnya pemerintah RI. Aksi tersebut mengakibatkan jatuhnya kota tempat kedudukan badan-badan peradilan ke tangan Belanda. Mengingat kondisi ini, maka dikeluarkanlah peraturan darurat tahun 1949 No. 46/MBKD/49 yang mengatur Peradilan Pemerintahan Militer untuk seluruh pulau Jawa -Madura. Peraturan tersebut memuat tentang:
- Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
- Pengadilan Sipil Pemerintah Militer
- Mahkamah Luar Biasa
- Cara menjalankan Hukuman Penjara.
Selanjutnya dalam makalah ini penulis akan membatasi dengan hanya membahas pengadilan tentara pemerintahan militer. Pada masa ini Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:
- Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM), berkedudukan sama dengan komandan ODM yang berwenang mengadili prajurit tingkat Bintara.
- Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM), berkedudukan sama dengan komandan DM yang berwenang mengadili perwira pertama hingga Kapten
- Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer, (MTGM), berkedudukan sama dengan Gubernur militer yang berwenang mengadili kapten sampai Letnan Kolonel.
Peraturan darurat tersebut hanya berjalan selama kurang lebih 6 bulan, kemudian pada tanggal 12 juli 1949 menteri kehakiman RI mencabut Bab II peraturan tersebut. Kemudian pada tanggal 25 Desember 1949 dengan PERPU No. 36 tahun 1949 mencabut seluruhnya materi Peraturan darurat No. 46/MBKD/49, dan aturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku lagi. Berdasarkan Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950, mengatur peradilan tentara kedalam tiga tingkatan yaitu:
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Tinggi
- Mahkamah Tentara Agung
Sementara untuk Kejaksaan dibagi atas:
- Kejaksaan Tentara
- Kejaksaan Tentara Tinggi
- Kejaksaan Tentara Agung
Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950 kemudian dicabut dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1950, yang sebenarnya hanya merupakan penggantian formal saja, sedangkan mengenai materinya tetap tidak mengalami perobahan. Pada masa ini masa RIS lahir Mahkamah Tentara di banyak tempat, seperti di Jawa-Madura pada kota-kota:
- Jakarta; dengan daerah hukumya: Keresidenan Jakarta, Banten dan Bogor
- Bandung; meliputi: Keresidenan Priangan dan Cirebon
- Pekalongan; meliputi: Keresidenan Pekalongan dan Banyumas
- Semarang; meliputi: Keresidenan Semarang dan Pati
- Yogyakarta; meliputi: Keresidenan Yogyakarta dan Kedu
- Surakarta; meliputi: Keresidenan Surakarta dan Madiun
- Surabaya; meliputi: Keresidenan Surabaya, Bojonegoro dan Madura
- Malang; meliputi: Keresidenan Malang dan Besuki.
Dengan Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi, untuk daerah Jawa-Madura. Sumatera, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
- Medan: Bekas Keresidenan Aceh, Riau dan Sumatera Timur
- Padang: Bekas Keresidenan Sumatera Barat dan Tapanuli
- Palembang:Bekas Keresidenan Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Bangka-Belitung.
Bukit Tinggi merupakan tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Sumatera. Kalimantan, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
- Pontianak: Bekas Keresidenan KALBAR dengan pulau-pulaunya
- Banjarmasin: Bekas Keresidenan KALSEL dan KALTIM
Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Kalimantan berkedudukan di Jakarta. Mahkamah Tentara di Indonesia Timur berada di kota:
- Makassar: Propinsi Sulawesi dan bekas Afdeling Ternate
- Ambon: seluruh wilayah Maluku di kurangi Ternate
- Denpasar: seluruh wilayah Propinsi Sunda Kecil (NTT-B).
Mahkamah Tentara Tinggi berkeduduan di Makassar dan Mahkamah Tentara Agung berkedudukan di Mahkamah Agung Indonesia.
c. Masa berlakunya UUDS 1950 (1950-1959)
Ketentuan yang telah ada pada masa RIS tetap berlaku kecuali yang tidak sesuai dengan tujuan negara kesatuan. Daerah hukum Mahkamah Tentara mengalami perubahan (penambahan dan pengurangan) seperti di :
Jawa-Madura :
- Jakarta, tambah Kab. Kep. Riau (Tanjung Pinang)
- Surabaya, tambah Kediri
Sumatera :
- Medan, dikurangi Kab. Kep. Riau tapi ditambah dengan Tapanuli
- Padang, dikurangi Tapanuli dan ditambah Kampar (Pekanbaru)
Kedudukan Pengadilan Tinggi Tentara yang sebelumnya di Bukit Tinggi dipindah ke Medan dengan wilayah hukum seluruh Sumatera.
Kalimantan :
Pengadilan Tinggi Tentara dipindah dari Jakarta ke Surabaya. Pada periode 1950-1959 di negar kita terjadi keadaan darurat, sebagai dampak dari politik federalisme kontra unitarisme. Seperti pemberontakan Andi azis di Makassar, Peristiwa APPRA di Bandung, RMS di Maluku, peristiwa DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh dan Sulawesi Selatan serta peristiwa yang tidak kalah besar ialah peristiwa PRRI/Permesta di Sumtera dan Sulawesi. Berangkat dari kondisi diatas, dan demi untuk tetap menegakkan hukum di lingkungan militer, maka di bentuklah Peradilan Militer Khusus seperti;
- Mahkamah Tentara Luar Biasa; Putusan mahkamah ini tidak dapat di mintakan banding
- Mahkamah Angkatan Darat/Udara pertempuran Putusan mahkamah ini merupakan tingkat pertama dan terakhir.
d. Masa Juli 1959-11 Maret 1966
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. UU No. 5 tahun 1950 sejak dikeluarkannya dekrit tetap berlaku, tetapi perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapannya berbeda dengan periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya fungsi peradilan diselenggarakan oleh anggota militer.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Penetapan Presiden No.22 tahun 1965, tentang perobahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU. No. 5 tahun 1950. Perobahan-perobahan tersebut adalah mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer. Dengan adanya ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan tentara dan pengadilan tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya dijabat oleh oleh ketua pengadilan Negeri/ketua pengadilan tinggi, sekarang di jabat oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri. Perubahan sama berlaku pula pada panitera.
Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tajun 1952 dengan mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum militer. Tahun 1957 angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke ke Fakultas Hukum dan pengetahuan masyarakat, Universitas Indonesia. Tahun 1961 merupakan awal pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para perwira ahli/sarjana hukum, sesuai dengan instruksi Mahkamah agung No. 229/2A/1961 bahwa mulai september 1961 hakim militer sudah harus mulai memimpin sidang pengadilan tentara. Demkian halnya dengan kejaksaan.
Dengan perkembangan tersebut diatas, dimulailah babak baru dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya ialah anggota dari suatu angkatan diperiksa dan diadili oleh hakim jaksa dari angktan bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah di undangkannya undang-undang No. 3 PNPS tahun 1965 tentang memberlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum disiplin tentara bagi angkatan Kepolisian pada tanggal 15 maret 1965. Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU. No. 23 PNPS 1965 pada tanggal 30 Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam tingkat pertama, tantama, bintara dan perwira polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di badan peradilan angkatan darat dan angkatan laut untuk yang kepulauan Riau.
Dengan demikian peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.
Peradilan ini terus berlangsung hingga setelah 11 maret 1966, bahkan peradilan di lingkungan angkatan kepolisian baru di mulai pada tahun 1966.
e. Masa 11 Maret 1966-1997
Pelaksanaan peradilan militer didalam lingkungan masing-masing angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal 1973. Tahun 1970 lahirlah UU No. 14 tahun 1970 menggantikan UU No. 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mendorong proses integrasi peradilan di lingkungan militer. Baru kemudian berubah ketika dikeluarkan berturut-turut :
- Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 – SKEB/B/498/VII/72
- Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 – J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan militer tidak lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer yang berada di bawah departemen pertahanan dan keamanan. Kemudian berdasar dari SK bersama tersebut, maka nama peradilan ketentaraan di adakan perubahan. Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer dilakukan oleh:
- Mahkamah Militer (MAHMIL)
- Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
- Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).
Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pertahanan keamanan negara RI yang kemudian diubah dengan undang-undang No 1 tahun 1988. Undang -undang ini makin memperkuat dasar hukum keberadaan peradilan militer. Pada salah satu point pasalnya dikatakan bahwa angkatan bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.
Hingga tahun 1997 hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di Indonesia.f. Peradilan Militer 1997-Sekarang
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari :
- Pengadilan Militer (Dilmil)
- Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti)
- Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama)
- Pengadilan Militer Pertempuran. (Dilmilpur)
Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 22 PNPS tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UU No 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sejarah Peradilan Tata Usaha Negara
Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya.
Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yangyang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara.
Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di IndonesiaPada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha Negara atau dikenal dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134 ayat (1) I.S yang berisi:
- Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang;
- Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri.
- Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;
- Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
- Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.
Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif.
Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yangyang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yangyang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah: defenitif, artinya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan.
- Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.
- Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah:
- Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;
- Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;
- Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
- Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
- Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan tertulis pejabat administrasi negara (beschikking). Seperti diketahui, seorang pejabat administrasi negara mempunyai kewenangan melakukan freis ermessen berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Freis ermessen tersebut akan berbentuk beschikking yang berlaku secara konkrit, individual dan final bagi orang atau badan hukum yangyang merugikan sasaran keputusan tertulisnya. Untuk mengontrol hal itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi masyarakat untuk melindungi kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah. dimaksud. Dalam hal ini karena pejabat administrasi mempunyai kewenangan, maka tidak tertutup kemungkinan ia akan melakukan sesuatu.
Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum perdata, yang terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui dua cara, yang pertama melalui upaya administratif (Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004) atau melalui PTUN (Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004). Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan upaya banding melalui PT TUN (Pasal 51 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya administratif, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT TUN (Pasal 51 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya hukum ini dapat dilakukan kasasi melalui Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004).
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan Seperti telah dikemukakan diatas mengenai tujuan PTUN, yaitu memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut, seringkali terhambat dengan proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu tidak sebentar.
Hal ini terlihat jelas pada tahun 2001 dalam kasus gugatan administrasi empat orang mahasiswa Universitas Indonesia terhadap SK Rektor Universitas Indonesia yang menetapkan sanksi berupa skorsing selama dua semester bagi keempat mahasiswa tersebut. Dalam putusannya PTUN mengabulkan gugatan keempat mahasiswa UI dan memerintahkan pembatalan SK Rektor UI tersebut. Tetapi Rektor UI mengajukan banding, dimana pada tingkat banding PT TUN mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN sebelumnya. Namun Rektor UI tetap mempertahankan SK tersebut dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA dalam putusannya kembali memenangkan keempat mahasiswa UI tersebut dan memerintahkan Rektor UI untuk membatalkan SK-nya. Namun, karena proses peradilan yang sampai pada tingkat kasasi itu memakan waktu selama masa skorsing keempat mahasiswa tersebut, pada akhirnya, putusan MA pun menjadi sia-sia dan SK sudah tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian, putusan MA tidak memberikan akibat hukum yang nyata bagi keempat mahasiswa itu.
Kasus diatas menunjukkan bahwa pengadilan administrasi negara tidak mampu menyelesaikan sengketa administrasi dengan cepat sehingga tujuan untuk melindungi hak-hak individu masyarakat menjadi tidak tercapai. Ironisnya, hambatan dalam mencapai tujuan pembentukan PTUN ini berasal dari upaya pembuat undang-undang untuk menyediakan kesempatan bagi berbagai pihak untuk mencari penyelesaian yang paling adil dari suatu sengketa melalui upaya hukum.